Bab Delapan

4.4K 822 61
                                    

Gisa memutuskan ikut mengantar Abi dan yang lainnya kembali ke hotel. Arjuna ikut menemaninya, hanya saja, Arjuna naik di mobil keluarga Raka sementara Abi berada di mobilnya Gisa, hanya berdua. Karena semua orang tahu mereka berdua memang membutuhkan waktu untuk bicara berdua, maka tidak ada yang melarang.

Tidak seperti dua mobil di depannya yang langsung menuju hotel, Abi malah membelokkan mobil yang dia kendarai ke arah yang berbeda, di mana penjual jagung bakar di sana. Mobil mereka berhenti tidak jauh dari penjual jagung bakar itu. Gisa memesan dua jagung bakar yang setelahnya mereka habiskan bersama tanpa saling bicara. Bahkan sejak dari rumah Gisa pun, tidak ada satu pun dari mereka yang mau bersuara.

Kini, keduanya hanya duduk diam, menatap lurus ke depan. Jalanan yang lumayan sepi membuat mereka berdua merasa lebih nyaman.

Hingga ketika Abi menoleh kesamping, menatap Gisa yang juga melakukan hal serupa, barulah keduanya terkekeh geli bersama.

"Gue nggak tahu, kalau urusan pernikahan ternyata seribet ini." Kekeh Abi.

"Drama banget nggak sih, Bi." Gumam Gisa dengan tatapan geli.

Abi mengangguk setuju, "Padahal selama ini kita selalu menjauh dari drama, tapi tetap aja akhirnya begini. Malah lebih lebay dari dramanya Leo sama Rere. Sumpah, pusing banget kepala gue, Gis. Ini terakhir kalinya gue mau ngelamar anak orang."

"Memangnya lo ada rencana ngelamar anak orang lagi setelah gue?" tanya Gisa dengan senyuman manisnya yang berbahaya.

Abi tertawa geli, "Nggak, sayang..." tangannya menarik lengan Gisa mendekat. "satu kaya lo aja udah buat otak gue kusut, gimana mau nambah. Cukup lo aja, Gis."

Gisa mendengus, namun bibirnya tersenyum samar saat Abi memeluknya dan menyimpan hidungnya di atas bahu Gisa. Satu tangan Gisa terangkat mengelus kepala Abi. "Capek banget, ya?" bisiknya. Abi mengangguk pelan. "ya udah sih, kan semuanya udah beres. Tinggal menikah, selesai."

"Gue mau nikahnya besok," Rutuk Abi. "biar bisa cepat-cepat bawa lo balik ke Jakarta terus gue kurung di kamar selama tiga hari."

Mendengar itu, Gisa tertawa geli karena kembali mengingat kejadian beberapa jam lalu ketika Rahayu sudah memberi restu meski dengan wajah yang masih menyimpan ragu dan setelah itu mereka semua membicarakan tanggal pernikahan.

Abi mengusulkan besok sebagai hari pernikahannya dan jawabannya itu membuat semua orang menatapnya tajam seolah ingin melubangi kepalanya. Abi tidak tahu kalau persiapan pernikahan lebih memakan waktu dibandingkan persiapan lamaran.

Gadis mengusulkan bulan ketiga setelah hari ini tapi Abi menolak dan malah mengusulkan dua minggu yang akan datang. Abi bilang itu terlalu lama dan tahu apa yang terjadi setelahnya? Mala dan Adrian mengomelinya berkali-kali sampai menjelaskan persiapan apa saja yang harus mereka lakukan. Karena isi kepala kedua orang itu sama kalau sudah menyangkut sebuah pesta maka tentu saja masing-masing dari mereka sudah merangkai harus seperti apa pernikahan Abi dan Gisa nanti.

Untungnya Gisa cepat-cepat mengatakan kalau dia hanya ingin sebuah pernikahan yang sederhana mengingat pernikahan itu akan dilaksanakan di kampung. Gisa bilang dia hanya butuh suasana yang hangat dan kekeluargaan karena tetangga dan orang-orang di kampungnya memang sudah dekat dengan keluarganya seperti kerabat sendiri. Gisa juga ingin pernikahan itu di lakukan di rumahnya, bukan di sebuah gedung mewah karena kerabat dan tetangganya akan kesulitan pergi ke gedung yang tentu saja berada di kota.

Dan pada akhirnya, satu keputusan telah di ambil. Pernikahan itu akan terjadi satu bulan lagi, di rumah Gisa dan untuk semua urusan pernikahan di kampung akan di urus oleh Adrian dan Gadis sedangkan Mala akan melangsungkan resepsi di Jakarta juga untuk mereka.

Saat itu Abi dan Gisa hanya bisa mengangguk pasrah.

Terserahlah, karena sesungguhnya mereka berdua hanya butuh status yang mengikat mereka secara hukum dan agama. Sisanya, tentu saja akan mereka lakukan seperti keinginan mereka sendiri.

"Sabar ya..." Gisa mencubit kedua pipi Abi, "bulan depan gue ikut lo ke Jakarta kok."

Abi mengangguk dan merengut malas. "Kebetulan kamar gue udah berantakan banget, Gis. Sekalian aja lo beresin bulan depan, ya."

Cubitan Gisa bergenti menjadi jambakan di rambut Abi hingga lelaki itu berteriak kuat. "Jorok banget sih lo, jadi manusia! Sampai gue kesana dan kamar lo bau apa lagi berantakan, lo puasa tiga bulan lagi!"

"Nggak, gila aja tiga bulan. Nggak kasihan ya lo, Gis, sama titit gue. Udah lama banget dia nggak disenengin sama lo."

"Bodo amat!"

"Di sini yuk, Gis, sebentar aja."

"Jangan sampai titit lo gue ganti jadi tongkol jagung, ya Bi!"

"Berigi dong, Gis, nanti lo makin keeanakan lagi." Gisa kembali menjambak Abi yang tertawa sambil meringis menahan sakit. "ampun, Gis, gue becanda..."

"Kenapa sih, calon suami gue begini banget otaknya." Rutuk Gisa sambil melepas jambakannya.

Abi tersenyum miring menjengkelkan. "Cie... calon suami."

Saat Gisa akan menjembaknya lagi, Abi memundurkan wajahnya dan melindungi kepalanya dengan kedua tangan. "Udah, sakit, bego, kepala gue."

"Makanya jangan iseng!"

"Mendingan iseng, Gis, dari pada kaya tadi. Gue benar-benar kaya lagi di neraka. Ada... aja masalahnya. Ini nih alasannya kenapa orang-orang lebih suka jadi orang jahat dari pada jadi orang baik. Kalau orang jahat tuh, hidupnya lancar-lancar aja, nggak ada kendala apa pun. Giliran mau jadi baik, ada... aja nemu masalah. Pusingnya tuh nggak enak, masih enakan pusing karena gue mabuk."

Gisa meremas mulut Abi dengan telapak tangannya kesal. "Ya udah, jadi orang jahat aja terus sana. Biar nanti lo masuk neraka jalur undangan. Mau lo, nangis-nangis lihat gue di surga sementara lo lagi di siksa di neraka?"

"Kalau gue di neraka, ya lo juga ikut gue lah."

"Enak aja. Gue kan orang baik, tempatnya di surga."

"Tapi kan lo istri gue, gue imam lo. Artinya ya lo harus ikut kemana imam lo pergi."

"Najis! Mending gue cari imam yang lain kalau gitu."

"Nggak bakalan bisa, Gis."

"Kenapa nggak bisa?"

"Soalnya, imam yang lain nggak bisa buat lo mendesah keenakan," Abi mengedipkan matanya menggoda Gisa. "kaya gini." Abi merangkum sajah Gisa, menariknya mendekat lalu memberi lumatan yang menuntut. Gisa tidak perlu berpura-pura menolak karena sejujurnya dia juga merindukan ciuman itu. Lagi pula, Gisa bukan perempuan yang bisa bersikap malu-malu seperti itu.

Pagutan Abi terlalu nikmat untuk di sia-siakan. Maka, Gisa hanya butuh membalas ciuman Abi, melingkarkan lengannya pada leher Abi dan menarik wajah Abi agar semakin mendekat. Untuk semua rasa gundah dan keresahan yang akhir-akhir ini mereka rasakan melebur begitu saja dalam ciuman itu. Tidak ada yang ingin berhenti dari mereka berdua, bahkan kini Abi sudah menarik tubuh Gisa ke atas pangkuannya, memeluk pinggan Gisa erat.

Wajah Gisa menengadah ke atas ketika saat Abi mencumbu lehernya, tangannya meremas rambut Abi lembut. Rintihan lolos begitu saja dar bibirnya, membuat cumbuan Abi semakin menggila.

Jalanan yang sepi mempermudah apa yang sedang mereka lakukan. Rindu dan rasa putus asa mereka kini berubah menjadi candu yang tidak ada habisnya. Saat bibir mereka kembali bertemu, gerakan lidah Gisa membuat Abi memejamkan matanya, jemarinya meremas pinggul ramping Gisa yang mulai bergerak pelan dan membuat gairah Abi semakin menjadi hingga kedua tangannya berusaha melepaskan pakaian Gisa.

"Nggak," Gisa menahan gerakan tangan Abi, kepala menggeleng pelan saat dengan napas terengah dia menatap Abi. Hanya sebentar karena setelah itu Gisa kembali melumat bibir Abi.

Abi mendesis kesal. Dia lupa jika Gisa tidak menginginkan hal yang sama sebelum mereka resmi menikah. Maka Abi terpaksa mengalah dan berpuas diri dengan cumbuan mereka yang sejujurnya semakin membuat kepalanya pusing menahan gairah.

***

The Journey (Skuel Tikus Dan Kucing Jatuh Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang