3. Tipuan Ruang Awan

86 12 8
                                    

Penulis: Ferry

Protezye

Prompt:
Sesekali, Key ingin sendiri. Ruang awan adalah pelariannya. Ruang awan adalah temannya. Sayang, ruang awan terlalu baik hingga membuat gadis itu tidak pernah bisa keluar lagi.

🍀🍀🍀

Pernah membayangkan seorang bayi mungil yang baru saja lahir, membawa bongkahan kristal di pusarnya dan tak pernah bisa dilepas? Ya, mungkin kalian merasa 'aneh', tapi aku tidak. Aku terlahir dari keluarga yang tak biasa. Oh? Atau mungkin bisa disebut, luar biasa?

Ibuku adalah seorang Batu Kristal—sebutan untuk seorang pahlawan dari negeri kristal—yang menikahi ayahku, yang merupakan manusia biasa.

Aku tidak tahu kenapa mereka bisa saling bertemu lantas memadu kasih, yang aku tahu, aku memiliki sedikit keturunan Ibu. Ya, memiliki kekuatan layaknya seorang Batu Kristal. Seperti dapat mengeluarkan sebuah dinding transparan yang dapat melindungiku dari apa pun, dan aku juga bisa memperbaiki suatu barang yang rusak hingga menyatu kembali.

Akan tetapi, Ibuku telah tiada. Ayah bilang, Ibu mengembuskan napas terakhirnya ketika berhasil melahirkanku. Saat itu umurku masih tujuh tahun, saat Ayah mengatakannya padaku dengan ekspresi sedih yang membuat aku merasa amat bersalah. Aku juga sempat berpikiran untuk tidak pernah terlahir ke dunia daripada harus mengorbankan nyawa Ibu.

Dan kini, umurku menginjak empat belas tahun. Ketika aku merindukan Ibu, aku memiliki sebuah tempat di mana aku bisa menyendiri dan mengenangnya. Namanya, 

Ruang Awan.

Ruang awan adalah kamar milik Ibuku yang hanya bisa dimasuki oleh aku dan Ibu. Ruang awan adalah kamarnya, dan para Batu Kristal lain pun memiliki ruangan khusus yang sama, namun dengan konsep yang berbeda.

Ayah bilang, dia pernah mencoba untuk memasuki ruang awan, tapi alhasil, baru saja jari telunjuknya menyentuh knop pintu, telunjuknya itu terpotong tanpa diketahui siapa pelakunya. Dan Ayah yakin, bahwa itu ulah ruang awan yang memang tak dapat dimasuki sembarang orang.

"Key! Keysha! Bisa kau bantu Ayah sebentar?" seru Ayah dari ruang tengah yang membuat lamunanku lenyap.

"Iya, sebentar, Ayah!"

Aku menuruni anak tangga lantas menghampirinya. Di sana Ayah tampak berdiri sambil kebingungan karena telah menghancurkan vas bunga milik tetangga kami yang dititipkan kemarin. Ia tidak sengaja menyenggolnya, karena Ayah memang agak sedikit ceroboh.

"Akan kucoba," ucapku tanpa menunggu perkataan Ayah. Kupegang vas bunga itu lantas menutup mata secara perlahan. Membiarkan sebuah kekuatan mengalir di dalam tubuh bak air sungai. Lantas, memusatkan kekuatan itu pada kedua lenganku.

"Sudah, Ayah. Tidak perlu khawatir," ujarku setelah membuka mata dan melihat vas bunga tersebut sudah kembali utuh seperti sedia kala.

"Oh, sayangku. Ayah tidak tahu bagaimana jadinya bila tidak ada kau," tukas Ayah, mendramatisir.

Aku hanya tersenyum dan dia mulai mengelus rambutku seperti biasa. Setelahnya, aku memutuskan untuk kembali. Bukan, bukan kembali ke kamar, melainkan ke ruang awan.

Aku berjalan mendekati pintunya yang menjulang tinggi. Mungkin dua kalinya tinggi tubuhku. Lantas memutar knop pintu dan pintu mengayun terbuka. Awan-awan berwarna merah muda menyambut dengan hangat. Rasanya, memang sangat tenang di dalam sini.

Ruang awan juga amat baik padaku, ruang awan dapat memunculkan apa pun ketika aku baru saja memikirkan hal tersebut. Dan, lihatlah, padahal aku baru saja memikirkan sebuah donat, tapi sekejap mata makanan itu muncul dihadapanku.

Aku juga memikirkan sebuah tempat yang dapat aku rebahi, dan muncullah sebuah kasur dari bulu angsa dengan dilapisi kain bludru yang lembut.

Ruang awan juga yang membuatku kembali dapat mengenang Ibuku, banyak juga barang-barang milik Ibu yang terkumpul di sini.

Aku hanya dapat menerka-nerka, bagaimana ekspresi Ibu dulu saat mengetahui dia sedang mengandung aku di dalam perutnya. Dan aku juga tengah membayangkan, secantik apa wajah Ibuku, karena Ayah sama sekali tidak memiliki foto atau apa pun tentang Ibu.

Tadinya kukira Ayah jahat, tapi ternyata itu memang permintaan Ibu pada Ayah untuk terus merahasiakan identitas aslinya. Dan Ayah hanya bisa menurutinya.

Ruang awan memang bisa memunculkan apa pun yang aku pikirkan, tapi entah mengapa ruang awan tidak pernah memunculkan Ibu. Padahal aku sering sekali berbisik dan meminta agar Ibu kembali. Namun tidak ada respon sama sekali dari ruangan ini.

Huh? Memikirkan apa aku ini? Aku memang tidak tahu diri.

"Key, maukah kau melihat Ibumu kembali?"

Siapa itu? Suara siapa itu? Tidak ada yang pernah bisa masuk ke dalam sini kecuali aku.

"Siapa, kau?!" seruku dengan nada tinggi.

"Aku ruang awan."

Apa maksudnya? Sebelumnya ruang awan tidak pernah berbicara padaku.

"Jangan menipuku!" kesalku yang masih tak terima.

"Hanya kau dan Ibumu yang dapat memasuki ruang ini, Nak."

Sejujurnya aku juga memikirkan hal yang sama dengannya sejak tadi, tapi entah mengapa hatiku terus menolak untuk menerima kenyataan ini.

"Tenang saja, aku akan membantumu bertemu dengan Ibumu."

"Bagaimana caranya?" jawabku agak penasaran juga. Kurasa memang tak ada salahnya aku mempercayai bahwa itu memang suara ruang awan. Mungkin ia menunggu hingga aku benar-benar tepat untuk mengetahui bahwa ruang ini bisa berbicara.

Tiba-tiba saja, muncul sebuah lingkaran portal kecil dihadapku. Aku mengerutkan kening dan mundur beberapa langkah karena refleks.

"Apa itu?"

"Masuklah, dan kau akan menemui Ibumu."

"Benarkah?" tanyaku masih ragu.

"Apa pernah aku menipumu, Nak?"

Kalau dipikir-pikir, ruang awan memang memberikan apa pun yang kuminta, dan itu bukanlah ilusi semata. Itu benar-benar nyata.

Perlahan, kulangkahkan kakiku ke dekat portal tersebut. Lantas dengan cepat portal itu menyedotku ke dalamnya dan membuatku tersungkur ketika tiba di dalam. Portal itu tertutup dan ruangan yang sebelumnya gelap ini pun bercahaya.

Cantik.

Adalah satu kata yang dapat aku lontarkan ketika melihat ruangan ini. Sejauh mata memandang, aku dapat melihat lapangan yang terhampar luas dengan rumput yang hijau nan lembut, serta bunga-bunga yang mempercantik. Pohon-pohon apel dengan buahnya yang rimbun ikut menghiasi. Awan berwarna oranye juga tampak melukis langit-langit ruangan ini.

Akan tetapi, aku sama sekali tidak bisa melihat adanya tanda-tanda kehadiran Ibu di sini. Dan detik itu juga, aku menyadarinya, bahwa ...

Ruang awan berbohong.

🍀🍀🍀

September: Our Prompt ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang