18. Kemalangan Mezu

43 5 8
                                    

Penulis: Chita
Clouchi

Prompt:
Dikarenakan tak sengaja menginjak anak ayam lalu memasaknya, Mezu terkena kutukan dapat berubah menjadi ayam. Malam jadi ayam, siang jadi manusia yang meresahkan. Mezu harus menemukan cara untuk melepaskan kutukan, namun bingung harus mulai darimana.

🍀🍀🍀

Warna jingga menghiasi langit sore. Beberapa siswa-siswi tampak berjalan pulang dengan muka kusut bak baju seragam yang tidak disetrika. Mezu adalah satu dari beberapa siswa-siswi yang pulang terlambat itu.

Badan Mezu sudah sangat letih karena kegiatan sekolah yang menguras tenaga. Saking letihnya Mezu, sekeliling tidak diperhatikannya dengan baik. Dia menginjak seekor anak ayam yang kelihatannya tersesat. Anak ayam menjeritkan sesuatu dalam bahasa ayam yang tentunya tidak dimengerti manusia—kecuali manusia itu bisa bicara dengan hewan.

“Eh, apa? Suara apa? Kerbau?”

Mezu berhenti, menengok apa yang diinjaknya dengan lesu. Tubuhnya mendadak segar kala indra penglihatan menangkap seekor anak ayam nan gemuk di bawah sepatunya.

Bukannya merasa kasihan dan melepaskannya, Mezu justru membawa anak ayam itu ke rumahnya sambil berseru dalam hati, “Hore, makan ayam!”

Wah, ini namanya kanibalisme. Iya, kan? Masa ayam geprek makan anak ayam.

***

Bersandar pada kursi plastiknya, Mezu mengembuskas napas lalu berseru, “Fyuh, kenyang! Kecil sih, tapi enak. Untung masih ada lauk lain.”

Hari sudah gelap dan Mezu masih lelah. Kenyang bukan berarti dia lepas dari jeratan rasa penat. Berhubung tidak ada tugas, Mezu memutuskan untuk tidur lebih awal. Sudah hampir satu minggu dia tidak mendapat tidur cukup karena sekolah dan kerjanya menjadi tukang cover cerita berbayar di Wattpad.

Baru dua menit tiduran di kasur, pengganggu datang. Seekor ayam betina mengepakkan sayap, masuk lewat jendela kamar yang terbuka dan mendarat tepat di perut Mezu.

“Astaga, apa maumu, ayam?!” gerutu Mezu. Sudah capek, tidurnya diganggu pula.

Si ayam menjawab—tentu saja dengan bahasa ayam. Mezu fokus pada ayam itu. Mendadak dia jadi tuli dan bisu karena terlalu fokus. Barulah dia sadar saat si ayam meninggikan suara.

Mezu mengerjap-ngerjap. Tubuhnya terasa aneh. Apa yang dia lihat juga aneh. “Lo? Kok semuanya jadi besar?”

“Nah, sekarang kamu tahu kan, rasanya jadi kecil.” Suara perempuan tidak dikenal.

Mezu celingak-celinguk, tidak mendapati seorang perempuan yang berceletuk. Namun, dia mendapati satu hal. Saat melihat ke cermin, bukan diri Mezu yang terpantul, melainkan seekor ayam betina—tidak. Ada dua ekor ayam betina.

“Kamu kena azab jadi ayam.” Ayam betina di depan Mezu menjelaskan.

Bengong. Mezu tidak tahu harus berkata apa, lalu dia terpikir sesuatu. “Ah, pasti ini mimpi. Makin aneh aja tiap hari. Mungkin karena aku kecapekan,” katanya tertawa hambar.

“Lihatlah makhluk satu ini,” ucap si ayam betina, “menolak kenyataan, padahal sudah kubilang dia kena azab.”

Tawa hambar Mezu berubah menjadi tawa mengejek. “Aduh ... apa ini? Ayam korban sinetron? Azab?”

“Hei, ini azab karena kamu memasak anakku! Kamu pikir aku nggak lihat apa saja yang sudah kamu lakukan padanya?!” Induk ayam itu berseru marah.

“Eh, anak ayam tadi?” gumam Mezu, mengingat apa yang dia makan sebelum beranjak ke kasur. “Oh, jadi kamu induknya? Dan kamu melihat semua yang aku lakukan padanya? Lantas, kenapa nggak kamu tolong?”

Induk ayam pun terdiam. Mereka saling pandang. Begitu sampai hampir satu menit.

“Sudahlah. Waktuku di sini tidak banyak,” ucap si induk ayam, lantas melompat keluar jendela. Ditinggalkannya Mezu yang masih kebingungan dalam wujud ayam.

Ingin mengacak-acak rambut sampai dikira kuntilanak, tidak bisa. Mezu bukan lagi manusia. Dia seekor ayam sekarang. Dia hanya bisa bicara pada sesama ayam, mengeluarkan suara petok, petok, petok pada makhluk lain, makan, mengeluarkan zat sisa, dan tidur.

Mezu memilih pilihan terakhir dari daftar apa yan bisa dilakukannya.

“Tidur aja, deh. Pasti ini mimpi buruk karena aku makan anak ayam tadi.” Dengan begitu, Mezu terlelap.

***

Mentari terbit dari timur seperti biasa. Sinar mentari pagi masuk melalui jendela, memaksa Mezu bangun awal di hari Sabtu yang indah. Namun, Mezu tidak kalah dengan sinar mentari. Dia kembali terlelap dalam satu menit.

Dia belum benar-benar tidur saat ayam jantan tetangga berkokok. Mezu beranjak duduk, matanya terbuka lebar dan peluh mengalir turun dari pelipisnya.

Mezu ingat betul, dia sempat menjadi ayam. Maka, dia menengok ke kaca. Meski yang dipantulkan kaca sungguh-sungguh manusia, Mezu tetap meraba-raba tubuhnya untuk memastikan.

Betapa lega dirinya. Ternyata berubah menjadi ayam hanyalah mimpi. Dia pun turun dari kasur, meregangkan tubuh, siap menjalani hari Sabtu seperti biasa.

Ya, semua berjalan lancar dan normal. Tidak ada yang aneh. Setidaknya, sampai malam hari tiba.

Sudah waktunya menyiapkan makan malam, tetapi Mezu tak kunjung turun untuk membantu. Ibunya sudah marah dan suaranya hampir habis. Jadi, ia pun memustuskan untuk menghampiri anak gadisnya di kamar.

“Mezu, sampai kapan kamu mau duduk di depan laptop—lo?” Langkah ibu Mezu terhenti kala matanya menangkap seekor ayam duduk di atas laptop anaknya.

Ia pun mengambil sapu yang kebetulan mengangguk di samping lemari anaknya. “Ayam siapa ini? Hush! Pergi sana! Sembarangan masuk kamar orang,” gerutunya sambil mengayun-ayunkan sapu, berusaha mengusir si ayam tanpa mengusik laptop tersebut.

Ayam yang tak lain adalah Mezu itu melompat-lompat di kamar, enggan keluar lewat jendela maupun pintu. “Astaga, Emak! Ini Mezu, Mak. Masa ngusir anak sendiri pake sapu?!” jerit Mezu histeris. Telinga ayam tetangga sakit dibuatnya.

Benar-benar malang nasib Mezu. Ibunya hanya mendengar suara petok, petok, petok yang kian nyaring. Beberapa kali sapu mengenai Mezu sampai akhirnya dia melompat keluar lewat jendela.

Jendela itu pun ditutup oleh ibunya sendiri setelah dia keluar.

Mezu menangis dalam bahasa ayam.

“Emak tak sayang aku lagi ....” Mezu berucap di sela tangisnya, meniru gaya bicara karakter dalam kartun Malaysia yang tokoh utamanya kembar botak.

Mendengar gelak tawa dari samping, Mezu menoleh—masih terisak-isak. Ayam betina yang tertawa keras itu tampak tak asing.

“Malang sekali nasibmu, padahal aku hanya memberi kutukan ringan. Aku baik, kan?” Si ayam betina melanjutkan tawanya yang tertunda sejenak.

“Baik dari mananya?!” Mezu berseru tidak terima.

Ayam-ayam di area perumahan itu serentak menoleh. Mereka terkejut.

“Wah, dia berani sekali pada Ayam Sakti.”

“Nggak sayang nyawa pasti.”

“Eh, katanya dia manusia yang dikutuk.”

“Masa, sih? Manusia yang dikutuk jadi ayam tiap malam?”

“Iya, entah apa yang sudah dia perbuat.”

Kira-kira begitu yang  para ayam bicarakan.

“Ayam Sakti?” Mezu bertanya-tanya keheranan.

“Benar! Akulah Ayam Sakti, penguasa daerah sini!” Si ayam betina yang disebut sakti mendongak angkuh.

Mezu terkejut dan makin heran. “Jadi, yang kumakan kemarin itu anak ayam sakti?!”

Ayam Sakti mengangguk. “Ya, kemarin kamu memakan anakku yang tak kalah sakti. Hukuman ini cocok untukmu. Menjadi ayam tiap malam nggak buruk, kan?”

“Barusan aku diusir oleh ibuku sendiri. Kamu bilang itu nggak buruk?” Mezu berucap sarkastis seraya memalingkan wajah.

“Oh, ya. Kamu nggak minta aku mencabut kutukanmu?” tanya Ayam Sakti.

“Iya juga, ya. Baiklah, kumohon kembalikan aku menjadi manusia sepenuhnya. Aku nggak mau begini. Jadi bagaimana hidupku kalau aku terus-terusan berubah menjadi ayam di malam hari.”

Ayam Sakti terkekeh—oh, tunggu. Itu seperti kekehan canggung. “Maaf.”

“Untuk?” Mezu bertanya.

“Aku nggak bisa.”

“APA?!” Mezu dan ayam-ayam lain menjerit, mengejutkan para manusia di sekitar.

Lagi-lagi Ayam Sakti terkekeh. “Sebenarnya, kamu jadi seperti ini karena memakan anakku. Sudah kubilang belum lama ini, kan? Dia tak kalah sakti dariku.”

“J-jadi, tiap malam aku akan berubah menjadi ayam?” tanya Mezu penuh ketakutan.

Ayam Sakti mengangguk mantap. “Tuh, tahu.”

“Oh, kasihan. Oh, kasihan. Aduh, kasihan ....” Ayam-ayam bernyanyi, turut sedih atas kemalangan Mezu.

“Oi, kenapa ada konser ayam malam-malam?!” teriak seorang warga dari jendela rumahnya.

THE END

Chita's note:
Ueueue, maap banget, Mez. Jadinya gini. Soalnya baru prompt aja udah nista. Terus akutuh ngetiknya pagi-pagi bangun tidur karna gaada kerjaan /malah curhat!

Ampuni daku, wahai.

September: Our Prompt ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang