17. Gadis Penyihir

41 4 3
                                    

Penulis: Yemi
Yemimaliez

Prompt:
Awalnya Ferry kira Arrabella adalah sahabat sejatinya. Namun, nyatanya Arrabella mempunyai sisi kelam di masa lalu yang membuatnya kurang waras. Arabella membunuh kedua orang tuanya sekaligus kedua orang tua Ferry.

🍀🍀🍀

"Lagi-lagi kau berada di perbatasan. Jika ayahku tahu dia bisa memintaku membunuhmu."

Arrabella mengembuskan napas saat  mendengar ucapan penuh intimidasi setengah-setengah. Ketahuan lagi oleh orang yang sama. Dia berbalik lantas menatap hangat dan tersenyum manis seolah tak melakukan apa pun pada sosok laki-laki yang tengah menatap garang sambil bersedekap. "Kalau begitu katakan saja kau tidak melihat ini, Ferry."

Ferry berekspresi datar. Lantas memejamkan mata. Arrabella menahan tawa melihat kerutan di kening pemuda berumur tujuh belas tahun tersebut. Seolah ada beberapa kata terukir dengan urat yang menonjol, terbaca "lagi-lagi kau berulah."

"Iya, boleh," kata Ferry setelah jeda beberapa menit berhasil membuat Arrabella tersenyum lebar. Gadis itu sangat-sangat ceria, dia tidak tega jika melaporkan masalah ini pada ayahnya.

Sebenarnya, sebelum ikut menyusul ke batas antara desa mereka dan wilayah "terlarang" itu, dia sudah memastikan tidak ada siapa pun yang ke arah sini. Ya, seharusnya menurut peraturan tidak sembarang orang bisa ke perbatasan. Arrabella terlalu nekad dan itu membuat Ferry khawatir karena setiap hari Arrabella ke tempat perbatasan, setiap hari pula kepala gadis itu terancam dipenggal.

"Hore!" Arrabella bersorak lantas memeluk Ferry. "Hehe, anak pemimpin desa memang bisa diandalkan."

"Tapi tidak peluk-peluk juga, Bel!"

Arrabella tahu Ferry tidak tahan dengan sikapnya yang begini. Namun, memang yang namanya jahil sudah jadi kebiasaannya.

Ia mendongak, membiarkan poninya menutupi sebelah mata. Menatap Ferry dengan ekspresi melas. Arrabella sudah melatih ini, memanfaatkan wajah lucunya untuk menjahili Ferry itu menyenangkan.

"Ferry tega, eng?"

"Ke–keimutan apa pun sudah tidak mempengaruhiku!"

"Eh? Jadi aku imut? Ferry memang baik!"

"Aku tidak bilang kau imut dan juga lepaskan pelukan ini. Malu, Bel!"

"Lalu kenapa tiba-tiba bilang 'keimutan apa pun sudah tidak mempengaruhiku!' dengan sangat gagap tadi?"

"Intinya bukan dan tidak bisa!"

Bukannya melepaskan pelukannya, Arrabella malah memamerkan senyum manis mautnya. Hanya beberapa detik, sebelum senyum itu hilang. Dia mengambil langkah mundur, melepaskan pelukannya.

"Tidak perlu kaku begitu, padahal biasanya kau akan mengatakan hal konyol yang membuatku tertawa."

Ferry menaikkan sebelah alis lantas menyengir. "Semut, semak, selamat sore, Arrabella. Sekarang, sudah sadar Ferry sangar setiap hari?"

Arrabella tergelak. "Apa? Tidak jelas sekali, oh ya ampun ... Wah ha ha ha! Aduh!" Dia tertawa terpingkal-pingkal. Perutnya terasa tergelitik. Ia memukul-mukul tanah di sekitar. Ferry ikut tertawa meski tidak bisa dibandingkan dengan betapa keras dan lepas tawanya Arrabella.

"Matahari sudah mulai terbenam, kita akan ketahuan kalau terus berada di sini. Ayo!" Ferry mengulurkan tangan. Menaikkan dagu sekali, memberi kode pada Arrabella menjawab uluran tangannya.

Bagaimana jika aku bilang aku tidak mau kembali, Ferry? Arrabella menggenggam ulurannya dengan begitu pelan seolah tak ingin pergi dari perbatasan. Untuk sedetik dia melirik ke kanan, tapi cepat-cepat bersikap seolah tak ada apa pun.

September: Our Prompt ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang