05. PERINGATAN

154 31 202
                                    

“TINOOOOOO!!! BALIKIN BOLPEN GUEEE!!”

Tino tertawa, berlari memutari sisi kelasnya. Menghindari amukan Nirya yang mengejarnya dengan membawa sapu di tangan kanan.

Cowok itu mengambil bolpoin Nirya secara diam-diam. Hingga pada akhirnya, Tino ketahuan hingga Nirya memarahi dan mengejarnya untuk mendapat bolpoin yang perempuan itu minta.

“TINOOO! Cepetan balikin bolpen gue satu-satunya!”

Tino memeletkan lidahnya, mengejek Nirya yang menatapnya garang, bak singa betina yang menerkam mangsanya karena telah membawa anaknya.

Murid-murid yang berada di sana tertawa ngakak bahkan ada yang memukuli meja saking lucunya kejadian itu. Bukan hanya sekali mereka melihat kejadian ini, tetapi berulang-ulang kali dan pelakunya tetap sama tanpa berubah.

“Ya elah, Nir. Gue pinjem bolpennya doang, kagak bakal dah bolpen lo gue bawa pulang,” kata Tino.

Lasta yang sedari tadi menonton keributan Tino dan Nirya pun mencibir.

“Pinjem! Pinjem! Nantinya juga lo habisin isinya terus lo buang ke sampah 'kan?” tanya Lasta yang sudah hafal dengan kebiasaan Tino.

Tino menoleh pada Lasta, lalu terkekeh kecil.

“Tau juga lo, Tal,” ujar Tino yang dapat didengar oleh seluruh murid kelasnya termasuk Nirya.

“TINO SIALAN!” umpat Nirya. Perempuan itu menatap tajam ke arah Tino, menunjuk Tino dengan sapu yang dia bawa.

Ethan yang duduk di kursi guru pun tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan Tino yang terus saja dikejar Nirya. Pada jam kali ini, kelas XI IPA 4 tidak ditunggu oleh guru pelajaran, karena guru sedang rapat di kantor. Oleh karena itu, murid-murid mempunyai peluang untuk mengobrol, bermain, ataupun ada juga yang belajar. Kelas mereka sudah diberi soal yang tercatat di papan tulis, namun mereka bukannya menulis soalnya dan menjawab, mereka malah asyik bermain—menghiraukan soal yang sudah ada.

“Woi, Nirya! Butuh bantuan gue kagak?” tanya Ethan yang sontak saja memberhentikan langkah kaki Nirya.

Nirya menoleh dengan alis satunya yang terangkat. “Bantu apa?” tanya Nirya tak mengerti.

Ethan berdiri lalu menghalang jalan yang dapat Tino lewati. “Lo kejar Tino, sedangkan gue bakal hadang Tino dari sini,” kata Ethan lagi.

Nirya berpikir sejenak, lalu mengangguk setuju. Matanya melirik sinis ke arah Tino dengan senyum miringnya.

Tino bergidik ngeri menatap kesinisan Nirya yang hampir mirip dengan film hantu yang pernah dia tonton. “Tega kamu, Than. Kamu bantu Nirya sedangkan temanmu ini tidak kamu bantu. Kamu tega! Kamu jahat!”

Ethan tertawa terbahak-bahak setelah mendengar suara Tino yang dibuat sedih. Matanya melihat Nirya yang memukul Tino dengan sapu milik sekolah. Ethan bahkan terguling-guling meratapi nasib Tino yang meringis sambil berteriak 'ampun' menghindari amukan Nirya.

“TINOOO! Cepet balikin bolpen gueeee!” pekik Nirya. Masih memukul Tino dengan sapu yang dia pegang Tidak memberikan Tino ampun sedikitpun.

Tino meringis.

“Iya, Nir! Turunin sapunya dulu! Sakit nih tangan gue! Ini gue mau kasih bolpen lo! Tapi turunin dulu sapunya!” pinta Tino. Cowok itu sedari tadi menghindari sapu dengan telapak tangannya yang sudah berbekas merah.

Nirya masih memukul Tino tanpa ampun. “Balikin bolpen gue dulu baru gue berhenti!”

Tino segera merogoh saku celananya dan melempar bolpoin itu ke arah Nirya. Sebelum tubuhnya remuk karena Nirya yang terus memukulinya!

ARKANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang