03. SEPATU HITAM

225 44 231
                                    

“Woi! Ada yang punya bolpen dua kagak?!”

Ethan yang sedang mengerjakan tugas rumah seketika menoleh begitu mendengar suara Tino cukup keras di dalam kelasnya. “Buat apa?”

“Ya buat nulis lah, pea! Masa’ buat gergaji kayu?” tanya Tino sebal. Cowok itu sedang duduk di bangkunya sendiri. Niatnya, dia ingin mengerjakan pekerjaan rumah yang kemarin diberikan oleh gurunya. Tetapi, dia sama sekali tidak membawa bolpoin ataupun pensil untuk dia gunakan.

“Bokek bener lo. Beli bolpen sendiri sono,” ujar Lasta. Cowok itu berbicara sembari mengerjakan pekerjaan rumah yang kemarin diberikan oleh gurunya. Bukan mengerjakan, alias menyalin jawaban dari Arka.

“Sejak kapan Tino beli bolpen? Setahu gue lo pasti pinjem ‘kan, Tin?” tanya Bagas tepat sasaran, membuat Tino cengengesan mendengarnya.

“Tau juga lo, Gas. Jadi, duit kagak terkuras buat beli tuh barang,” kekeh Tino. “Lagian ya, gue mager kalau ke koperasi,” ujar Tino menjawab perkataan Lasta. Sebenarnya, dia juga sependapat dengan ucapan Lasta, tetapi dia sangat malas untuk berjalan ke koperasi yang jaraknya cukup jauh dari kelasnya saat ini.

Kali ini, kelas mereka sedang tidak ada guru yang mengajar. Dikarenakan guru mereka sedang rapat. Oleh karena itu, mereka menggunakan waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang belum dikerjakan dari sebagian murid. Soal-soal di papan tulis yang sudah guru mereka beri pun hanya dikerjakan sedikit murid bagi yang niat. Sedangkan sebagian murid lagi membiarkan soal itu dan sibuk pada dirinya masing-masing.

“Kalau lo mager, ya pinjem aja sana,” kata Ethan.

“Lama-lama gue kasihan sama orang yang Tino pinjemin bolpen. Masa setiap hari dipenjemin?” tanya Bagas. Cowok itu ikut menyalin jawaban dari Andika.

“Apalagi si Nirya tuh. Setiap hari dipenjemin mulu sama Tino,” kata Lasta.

“Nah, kalau Nirya mah udah gue daftarin ‘calon peminjaman bolpen’. Bagus ‘kan?” tanya Tino. Dengan tanpa dosanya, dia terkekeh kecil.

“Kau ini berdosa banget,” ujar Ethan sambil menggelengkan kepalanya heran.

“Bagus ndasmu!” ucap Bagas ketus membuat Tino cengengesan mendengarnya.

“Lo bawa bolpen kagak, Than?” tanya Tino yang ditanggapi gelengan singkat dari Ethan.

“Bolpen ini aja gue pinjemnya sama Raga, untung aja tuh bocah bawa dua,” balas Ethan sambil memperlihatkan bolpoin yang dia pinjam dari Raga—merupakan ketua kelasnya.

Tino mendengus kesal. Menolehkan kepalanya pada Arka dan Andika. “Kalau lo Ar? Dik?”

“Dipinjem Bagas,” balas Andika. Cowok itu kembali bermain ponselnya sesudah membalas pertanyaan Tino.

Arka yang sedang bermain ponsel menoleh Tino sekilas. “Gue cuman bawa satu, dipenjem Talas.”

Lasta yang mendengar ucapan Arka membuat dia melirik Arka sinis. “Talas mulu lo kalo panggil gue!”

Bagas terkekeh mendengarnya. “Bukannya sama aja nama lo, Tal? Talas, Lasta.” Setelah mengatakan itu, Bagas kembali terkekeh geli.

“Lagian, lo pantesnya juga disebut Talas,” kekeh Tino.

“Bagusan juga itu, Tal. Mirip ubi-ubian,” ujar Ethan cengengesan, bermaksud bercanda.

ARKANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang