08. TUNGGU. NYAMAN? BENARKAH ITU?

156 27 217
                                    

Arka turun dari motor setelah sampai di depan rumahnya. Melepaskan helm full face yang dia kenakan. Meletakkan benda bulat itu disalah satu spion motornya.

Sepulang sekolah, Arka tidak pulang ke rumahnya. Melainkan ke markas Vegasta untuk sekadar bermain bersama Andika, Lasta, Ethan, Bagas dan juga Tino. Seragam sekolah pun masih melekat di badannya, ditutupi jaket khusus Vegasta yang berwarna hitam.

Arka segera berjalan. Memasuki pintu depan rumahnya. Kali ini, cowok itu pulang pada malam hari. Dan pastinya dia akan mendapat teguran dari orang tuanya. Tanpa salam ataupun permisi, Arka langsung berjalan santai menaiki anak tangga yang menghubungkan ke kamarnya. Menghiraukan tatapan tajam dari seorang laki-laki paruh baya yang sedang duduk di sofa sembari memegang koran yang sudah dibaca.

Kaki Arka hendak melanjutkan menaiki anak tangga yang ketiga. Akan tetapi sebuah suara yang memanggil namanya, membuatnya harus mengurungkan niat untuk melanjutkan. Arka berbalik. Menatap laki-laki paruh baya yang kini sudah berdiri menatapnya.

“Dari mana saja kamu?” tanya Delon—papa kandung Arka. Mata elangnya menatap Arka tajam. “Apakah kamu tidak tahu jika ini sudah malam?” tanya Delon lagi.

Arka menatap Delon datar. Cowok itu masih mengingat masa dulu ketika kedua orang tuanya bertengkar. Masalah yang dimulai dari papanya. Sebenarnya Arka benci Delon. Namun, mengingat status Delon adalah papa kandungnya, membuatnya harus menepis kebencian itu.

Arka tidak benci pada Delon. Melainkan hatinya yang sangat membenci lelaki itu!

“Jika Arka pulang malem ataupun besok, apakah papa masih peduli? Enggak kan?” tanya Arka. Tertawa miris. Hatinya seakan tertusuk pisau. Sakit. Itulah yang Arka rasakan.

Waktu kecil, ketika Arka pulang ke rumah dengan keadaan basah kuyup pun Delon tidak mempedulikannya. Bahkan Arka tahu jika Delon mengetahui keadaannya. Namun, laki-laki itu hanya fokus pada laptopnya. Mengerjakan urusan perusahaan tanpa mempedulikan Arka yang menatapnya parau. Sedangkan bundanya yang baru saja turun dari tangga segera kembali lalu membawakan handuk untuknya dan membawanya ke kamar untuk menghangatkan tubuhnya.

Arka ingat kejadian saat umurnya masih sepuluh tahun itu. Begitu sakit hatinya untuk mengingat kembali.

Delon tidak pernah peduli pada Arka. Bahkan saat Arka dibully di sekolah, dijauhkan oleh teman-teman, dan ketika Arka pulang banyak luka lebam, Delon sama sekali tidak memperhatikannya.

Delon selalu mementingkan pekerjaannya. Dari Arka kecil, dia tidak pernah menyayanginya. Arka memilki sosok Papa, tapi tidak dengan kasih sayangnya. Berbeda dengan Bunda. Bundanya selalu perhatian padanya. Bahkan saat Arka dibully fisik di sekolah, Bunda langsung turun tangan.

“Arka, papa peduli sama kamu,” tegas Delon.

Arka tertawa kecil. Tawa yang mengisyaratkan rasa sakit. “Saat Arka dulu pulang dengan pakaian basah pun Papa tidak menghampiri Arka. Saat Arka dipukul oleh temen-temen pun Papa diam saja. Dan itu papa sebut Peduli?” tanya Arka membuat Delon seketika bungkam. Arka terkekeh sendu menatap Delon yang bungkam karena pertanyaannya.“Jika Arka pulang malem pun, Papa gak usah ikut campur urusan Arka. Itu urusan Arka sendiri, bukan urusan Papa!”

“Lagi pun saya juga tidak butuh Papa!”

Delon seketika marah mendengar perkataan Arka yang membentak. “Arka! Jaga ucapanmu!”

Arka tersenyum miris. “Ingat, Pa. Gak usah ikut campur urusan, Arka. Seharusnya papa urusin masalah Papa sama bunda! Bukannya setiap hari Papa selalu marahin Arka!”

Plak!

Delon menampar pipi Arka hingga wajah Arka menoleh ke samping. Tamparan dari Delon begitu keras, hingga bekas tamparannya membekas merah di pipi Arka. Tamparan keras itu pun menggema di dalam rumahnya. Hingga seorang wanita paruh baya berlari kecil menghampiri mereka setelah mendengar suara yang begitu memekakkan telinga.

ARKANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang