1

41 1 0
                                    

HARINA

Kuparkir sepeda lipatku di garasi sebagai awal dari rutinitas harian. Tiap pagi yang pertama kali kulakukan setelah memasuki rumah adalah membuat sarapan serta menyiapkan meja makan. Jangan samakan jam kerjaku dengan orang lain dan seluruh pegawai di bumi ini, anggaplah aku bekerja di perusahaan gelap yang tak sudi membayar uang lembur karyawannya. Selesai dengan dapur, aku bergegas naik ke lantai dua untuk membangunkan putri tunggal pemilik rumah; Viona. Kuketuk pintunya beberapa kali sambil berseru memanggil namanya namun belum juga ada balasan. Ck! Kalau sudah begini terpaksa aku masuk, menyingkap gorden dan selimutnya, juga menyiapkan air hangat di bath tub. Kupaksa sang nona untuk duduk dan menepuk pipinya agar terjaga, yang dibalas dengan erangan malas. Jangan sampai kulepas juga bajunya dan kumandikan sekalian. Itu cerita beberapa tahun lalu.

Di rumah megah ini hanya ada Viona sebagai aturan bagiku dan semua asisten rumah tangga. Aku tidak kenal mereka, peduli setan. Hanya Viona yang kupatuhi ucapannya di rumah ini. Orang tuanya sibuk bekerja dan jarang pulang, wajar jika urusan Viona otomatis menjadi urusanku. Bukan aku hobi ikut campur, memang dia yang tidak becus hidup sendiri.

"Nona, sarapan hari ini french toast dengan omelet, ham, dan jus jeruk," ucapku saat Viona tersaruk-saruk ke kamar mandi sementara kurapikan ranjangnya. "Seragam dan tas akan saya siapkan. Saya tunggu di ruang makan. Permisi, Nona."

"Yaaa," adalah jawaban Viona yang masih setengah tidur saat masuk kamar mandi.

Senyumanku berganti umpatan ketika pintu kamar mandi tertutup. Pelan saja mengumpatnya, Viona tak perlu dengar keluhanku selama ini. Kutinggalkan ruangan sarat warna pink itu dan turun, menyiapkan mobil untuk mengantar sang putri sambil makan roti. Duh! Ini apa lagi sih? Kenapa juga Viona menelepon?

"Ya, Nona? Ada yang bisa saya bawakan ke kamar?," ujarku lengkap dengan senyuman.

"Rin, tasku bawain ke bawah aja. Aku males bawa, berat."

Sialan! "Baik. Ada lagi, Nona?"

"Itu aja."

Anjir! Langsung ditutup. Shit! Sekali saja tidak merepotkan aku kenapa sih? Si manja sialan itu mana pernah mau membawa tasnya saat ada pelajaran olah raga atau lainnya yang membutuhkan tambahan barang. Bersungut-sungut kuturuni tangga marmer dengan ransel pink berbunga-bunga di punggungku. Saat semua siap, kuantar Viona ke sekolahnya yang bagiku bagai kastil Eropa abad pertengahan itu. Sekolah anak orang kaya kenapa harus artistik begitu sih?

Dan seperti itulah rutinitas pagiku selama dua belas tahun terakhir.

*

"Selamat pagi."

Sapaan sok ramah dariku berbalas serempak di ruang sekretaris. Belum juga sampai mejaku, seseorang menghampiri disusul beberapa yang lain menyodorkan map dokumen yang harus kuperiksa. Bisa tidak sih mereka biarkan aku setidaknya duduk dulu baru dijejali aneka rupa pekerjaan? Ck! Sialan, pagi-pagi sudah menggunung saja mejaku.

"Pak Harina, MoU dari Sejati Raya Grup sudah saya email-kan. Tolong di cek ya, Pak," suara perempuan dari ujung ruangan mengalihkan perhatianku dari dokumen yang sedang kuperiksa.

"Oke," balasku yang segera membuka laman surel. Kupindai sekilas, setelah memastikan poin-poin penting sudah tercantum kututup surel dan berkata, "Acc, Ndri."

"Pak, udah di cek belum dokumennya? Mau saya taruh meja Pak Dir nih."

"Pak, meeting besok jadi jam 10 kan?"

"Pak, lunch nanti di Mercure...."

Haisssh! Mereka ini semuanya sarjana kan? Sejak kapan ruang kerjaku seberisik kelas sunflower Viona dulu? Cih! "Gantian kalo nanya, Sayang," kataku lengkap dengan senyuman yang sengaja kulempar ke sisi kiri tempat tiga perempuan yang tadi menghujaniku dengan pertanyaan. Selalu, reaksi mereka setelahnya justru diam dan tersipu sembunyi-sembunyi. Percuma aku jadi sekretaris direktur kalau sekadar mendiamkan tiga perempuan berisik saja tak bisa. Percayalah, Viona akan selalu menjadi perempuan paling berisik di antara yang lain. Bocah itu jauh lebih ribut dan menjengkelkan.

Secretary's SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang