Ryuto Sayhan, lelaki terlampau dewasa ini sudah menginjak usia tiga puluh lima tahun. Meskipun demikian sosoknya masih begitu gagah dan aura semangat anak muda masih terpancar dari tubuhnya.
Sayhan memutuskan untuk melepaskan masa lajangnya ketika berusia genap tiga puluh tahun, menikahi seorang gadis muda yang baru saja menginjak usia dua puluh tahun. Mungkin tidak banyak yang percaya, tetapi dia tidak menyangkal bahwa dirinya sudah jatuh cinta pada pandangan pertama pada Nuhai Fihandinia - perempuan dengan mulut yang ceplas-ceplos khas seorang gadis muda.
Tetapi semua sifat cerianya Nuhai berubah saat ---
"Eh Om, kalau ngomong yang bener aje. Emangnya saya bocah ape bisa dikibulin." Emosi Nuhai sampai kedua tangannya berkacak pinggang, dagunya terangkat tanpa rasa gentar.
Sayhan terperangah melihat sikap istrinya yang seperti dulu. Nuhai seperti kembali pada jati dirinya yang sesungguhnya. Namun, kenapa istrinya terus menyebutnya 'Om'? Emangnya dia setua itu apa?
"Nuhai, berhenti memanggilku Om." geram Sayhan, ia juga emosi mendengar panggilan seperti itu dari istrinya.
"Idih si Om, menolak tua nih ceritanya?" Ejek Nuhai. "Om mungkin emang ganteng sih .... " ralat. Yang bener itu ganteng bangeeet, tapi harus stay cool. "Tapi umur gak bisa bohong, Om. Tua ya tua aja."
Sayhan mengembuskan nafas, mengontrol emosi agar tidak meledak. Ia seperti di hadapkan pada bocah perempuan yang tengil. Bagaimanapun dirinya harus bersyukur, rasa frustasi akhirnya meluap hilang dalam dirinya melihat istrinya sudah mau kembali membuka suaranya, walaupun terasa ... menyebalkan.
Inilah Nuhai, walaupun di depannya ada seorang pria kekar dan bisa menghajarnya kapan saja, tapi ia tidak takut. Rasa takutnya hanya kepada Penguasa Alam Semesta. Buat apa merasa takut pada sesama manusia. Tapi ... Nuhai juga manusia biasa, ia takut sih, sedikit tapi.
Mengabaikan Sayhan yang mendadak hanya diam saja. Nuhai menggerakkan kakinya beberapa langkah menjauh dari pria itu sambil matanya memindai kamar tersebut. 'Gila! Gua di culik tapi disekapnya di kamar mewah gini ... curiga, jangan-jangan .... '
Tangan Nuhai reflek meraba-raba tubuhnya sendiri. Ia merasakan sesuatu yang aneh melekat di tubuhnya. Ketika kepalanya menunduk --- "AAAAAAAAAH! ... " jeritnya tak tertahankan.
"Sayang, kenapa?" Sayhan melangkah cemas mendekati istrinya.
Nuhai menatap Sayhan dengan aura penuh permusuhan, dadanya naik-turun seiring emosinya yang sudah di ubun-ubun. "DASAR KURANG AJAR!" teriaknya di depan muka Sayhan. "Berani-beraninya pak tua sepertimu melecehkan diriku! Dasar bajingan!!!" murkanya tidak peduli walau lawannya seorang pria tangguh.
Baju yang di pakai Nuhai berbeda sekali dengan apa yang ia kenakan sebelumnya. Baju tersebut adalah gaun tidur orang dewasa yang biasa di kenakan oleh perempuan yang telah menikah. Gaun tidur berbahan satin tipis, panjangnya selutut, bertali satu di bahu, dan lengkap dengan jubah kimono nya.
Nuhai mengeratkan kimono nya rapat-rapat menutupi dadanya yang agak terekspos. Matanya berkaca-kaca membayangkan dirinya sudah di lecehkan, sudah tidak punya harga diri lagi.
"Kalian para lelaki hidung belang hanya tahu menyakiti perempuan! Kalian hanya memikirkan kesenangan kalian saja! Dasar brengsek!!!" Sekali lagi Nuhai meluapkan segala kemarahannya dan mengabaikan air mata yang sudah menetes di pipinya.
Sayhan terkejut melihat istrinya menangis. Tapi dirinya juga bingung dengan keadaan sekarang. Kenapa istrinya bertindak sangat ... aneh.
"Sayang kamu kenapa? Siapa yang melecehkanmu?" pelan-pelan dengan suara lembut Sayhan mencoba menenangkan istrinya.
Jari telunjuk Nuhai terangkat menunjuk wajah Sayhan. "Kau! Kau yang telah melecehkanku! Dasar biadab!"
"Aku tidak melecehkanmu." sanggahnya, "kenapa kau berfikir seperti itu?"
Nuhai menangis sesenggukkan, dirinya masih muda, jalan hidupnya masih panjang, kenapa nasib sial bisa menimpa dirinya. "Bajuku ... siapa yang menggantinya?"
Mata Sayhan memandang dengan kerutan di dahi pakaian tidur istrinya. Dirinya benar-benar tidak mengerti. "Tidak ada yang menggantinya, sayang. Kamu lupa dari semalem pakai baju itu?"
Nuhai menggelengkan kepala kuat-kuat, "aku ingat apa yang aku kenakan sebelum ti--- " tunggu sebentar. Tiba-tiba saja tangisannya berhenti dan matanya menerawang kejadian sebelumnya.
Aneh, pikir Nuhai. Jelas-jelas ia tertidur di kamarnya, lalu kenapa bangun-bangun bisa di sini?
Nuhai berusaha berpikir keras sampai-sampai alisnya mengernyit dalam. Ia benar-benar tidak habis pikir apa yang terjadi padanya? "Ah!" Sontak ia merintih kesakitan saat merasakan seperti ada jarum besar menusuk tepat di pucuk kepalanya, rasa sakitnya sangat dalam sehingga membuat-- pingsan.
"Nuhai!"
>>>
<<<
>>>
<<<
>>>
<<<Dua balita sama-sama memiliki paras yang serupa, hanya baju yang dikenakan bisa membedakan kedua bocah kecil tersebut. Berpipi bulat berisi dengan wajah yang amat menggemaskan, ciri khas dari anak kecil. Keduanya sedang duduk di ruang makan saling berdampingnya di atas kursi khusus untuk anak seusia mereka.
Bibir mungil kedua balita tersebut manyun ke depan sambil mata bulat jernih mereka melirik ke arah pintu ruang makan. "Iiih, Ayah mana sih," gerutu salah satunya gemas karena bosan menunggu.
"Iya, bangunin Bunda lama banget." sahut yang satunya lagi mulai jenuh di tempatnya.
Kedua balita ini mulai hilang kesabaran menunggu seseorang yang akan sarapan bersama pagi hari ini.
Pintu ruang makan akhirnya terbuka menandakan ada yang datang. Kedua balita langsung tersenyum ceria menantikan sosok di balik pintu muncul. Tetapi---
Seorang wanita paruh baya berseragam pelayan melangkah mendekat pada dua balita yang menatap dengan sorot mata kecewa bercampur tanda tanya. "Selamat pagi Tuan Muda Saidan dan Tuan Muda Saidar." Sapa wanita tersebut menampilkan senyum penuh keibuan.
"Bibi Dasa ? Ngapain kesini?" Saidan lah yang bertanya dengan suara cemprengnya.
Lagi-lagi Bibi Dasa tersenyum menanggapi pertanyaan anak dari majikannya. "Kata Tuan Sayhan, kalian bisa sarapan terlebih dahulu tidak perlu menunggu beliau."
"Loh? Ayah memangnya kemana?" Kali ini Saidar yang bertanya.
Bibi Dasa ragu-ragu menjawab. Meskipun kedua orang tersebut adalah balita yang belum mengerti apa-apa masih berusia empat tahun, namun otak keduanya sangat cerdas mudah memahami situasi seperti sekarang, wajah kedua bocah tersebut menampilkan bahwa mereka tahu ada terjadi sesuatu yang tidak beres. Bibi Dasa jadi harus berkata apa biar anak majikannya percaya. "Tuan muda, kita sarapan dulu ya? Nanti kalau kalian sakit, Bibi bisa disalahkan sama Ayah kalian." pintanya memohon agar kedua balita ini tidak bertanya lebih lanjut.
Saidan dan Saidar saling memandang untuk sejenak satu sama lain. Mereka sama-sama mengetahui pasti telah terjadi sesuatu, tapi karena melihat Bibi Dasa yang memelas seperti itu, mereka tidak tega. Bibi Dasa sudah dianggap orang tua sendiri yang tulus menyayangi keduanya.
"Baik, Bi." jawab Saidan-Saidar kompak bersama.
Kedua balita kembar tersebut akhirnya mulai menyantap sarapan mereka dibantu oleh Bibi Dasa yang setia dan sabar menemani keduanya.
♡♡♡
Jumat, 18-09-2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendadak Lupa Ingatan
Romance"Ujian dalam kehidupan pernikahan itu akan selalu ada. Pertanyaannya mampukah kita bertahan?" ••• Nuhai Fihandinia tidak menyangka bahwa ada seorang lelaki bernama Ryuto Sayhan datang dan melamar dirinya. Ingin rasanya menolak, tapi teringat oleh ja...