BAB 4

108 10 1
                                        

Sepeninggalan Kisan beberapa menit yang lalu.

Sayhan melamun dengan muka yang tidak menunjukkan ekspresi apapun, berdiri sembari memandangi istrinya yang masih pucat pasi.

Perkataan Kisan barusan berhasil memengaruhi dirinya. Dia sudah menduga jika wanita itu pasti sudah tahu apa yang terjadi antara dirinya dengan istrinya, lalu kenapa bertanya?

Sayhan sama sekali tidak merasa bersalah, ia hanya melalukan ritual ibadah yang disukai dan dicintai Allah dari sepasang dua insan yang telah resmi bersetifikat halal. Tetapi hati kecilnya tidak menapik kalau dia merasa telah melakukan sesuatu paksaan pada istrinya yang masih dalam kondisi pemulihan.

Kini lihatlah sekarang, Nuhai mengalami amnesia, ke depannya mungkin jalan yang ditempuh tidak akan mudah.

Tunggu sebentar-, bukankah Nuhai amnesia? Berarti dia juga melupakan--

"Ayah! Apa yang sudah Ayah lakukan pada Bunda?!" Tuduhan dengan suara yang nyaring itu berasal dari bibir kecilnya Saidar, mata bulat jernihnya memancarkan kekesalan pada Ayahnya sendiri.

Sayhan kembali ke alam sadarnya. Ia melangkah mendekat ke ranjang, "Ayah tidak melakukan apapun," ujarnya lembut pada kedua anak kembarnya.

"Ayah tuh ya, suka banget nyakitin Bunda." Kali ini Saidan yang berbicara. Keduanya bersama menyerang Sayhan.

"Ayah benar-benar tidak melakukan apapun, percayalah." Dengan sabar dirinya memberi pengertian agar anak-anaknya bisa tenang.

"Kami tidak percaya. Omongan lelaki mana bisa dipercaya," kata Saidar dan dengan polosnya Saidan mengangguk penuh persetujuan.

Sayhan memutar kedua bola matanya, "Memangnya jenis kelamin kalian apa? Jangan rasis deh!"

"Iiih ... Ayah kami tuh masih kecil. Anak kecil mana ada yang berbohong." Lagi-lagi Saidan menganggukkan kepala mendengar penuturan adik kembarnya.

"Terserah." Sayhan memilih mengalah, lagian kenapa juga masih jam segini dirinya harus berdebat dengan anak-anaknya.

Saidan, bocah kecil itu membungkukkan badan dan mengarahkan wajahnya mendekat pada Ibundanya, sebuah kecupan mendarat di kening Nuhai, kemudian Saidan berbisik pelan tepat di telinga Ibundanya. "Cepat sadar ya, Bunda. Janji deh kami gak bakalan nakal lagi."

Sebuah keajaiban. Setelah Saidan berkata seperti itu, kelopak mata milik Nuhai yang masih menutup rapat, di dalamnya bola mata tersebut bergerak-gerak menandakan bahwa Nuhai akan sadar sebentar lagi.

Sayhan yang melihat pergerakan mata istrinya langsung mendekat dan duduk ditepi ranjang. "Sayang?" panggilnya sambil meraih dan menggenggam telapak tangan istrinya.

Saidan dan Saidar saling menatap untuk beberapa detik dengan senyum sumringah di wajah mereka.

Ketiga makhluk berjenis kelamin laki-laki itu menunggu-nunggu dengan tidak sabar.

Akhirnya Nuhai perlahan-lahan mulai membuka matanya yang terasa amat berat. Dia menyipitkan mata sebentar menyesuaikan cahaya yang menerpa netranya.

"Bunda!!"

Apa? Bunda? Alis Nuhai mengernyit mendapati sebuah panggilan yang aneh baginya berasal bukan dari hanya satu suara melainkan dua sekaligus memanggil secara serentak.

Nuhai memiringkan kepala ke samping kirinya. Tubuhnya masih terasa lemah tidak berdaya bagaikan sedang sakaratul maut. Dalam benaknya kaget ketika melihat dua makhluk menggemaskan berpipi bulat,
chubby seperti bakpau.

Tangannya gatal terangkat ingin mencubit pipi gembil tersebut, dan benar saja saat ia melakukannya pada Saidan, merasakan kulit lembut seorang anak kecil membuat senyuman tipis terpatri di wajahnya.

Mendadak Lupa IngatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang