BAB 11

357 47 34
                                    

Sayang?

Otak gue masih mencoba memproses makna sebuah kata yang keluar dari mulut Nial. Bersamaan dengan itu, ada sebuah perasaan asing yang bikin gue enggak nyaman. Entah kenapa, gue tau akan terjadi suatu hal yang buruk.

Perlahan dua bola mata gue memindai perempuan yang berdiri di samping Nial. Bola mata yang berseri dibingkai dengan bulu mata lentik, alis tebal tanpa digambar, hidungnya kecil namun masih proporsional dengan bentuk wajahnya yang oval, bibir tipis diwarna nude, dan jangan lupakan kulitnya yang mulus dengan bagian pipi yang kemerahan. Otak gue menemukan dua kata yang pas untuk merangkum hasil pengamatan gue untuk perempuan itu.

Cantik alami

Seolah alam pun setuju dengan pemikiran gue, angin sepoi membelai rambut perempuan itu, sehingga nampak mempesona di mata gue. Satu lagi kata yang gue temukan.

Sempurna

Sentuhan halus di lengan kanan gue memecah kebisuan gue, ternyata perempuan cantik di depan gue udah ngulurin tangannya, seakan mau berjabat tangan sama gue.

"Hai...kamu Alifa yang sering diceritakan Nial itu ya?"

Gue enggak peduli dengan apa isi cerita Nial sama perempuan itu, karena kini otak gue sedang mengurai teka-teki.

Siapa dia?

Ngeliat gimana dia berdiri deket banget sama Nial, gimana tangan Nial melingkar sempurna di bahu perempuan itu....otak dan hati gue mencoba berkonspirasi untuk membuat satu hipotesis bahwa mereka sangat dekat seperti....sepasang kekasih?

"Alif...ini Hanah" sentuhan bunda Rosa kembali menyadarkan gue untuk segera menyambut uluran tangan perem-, maksud gue Hanah.

"Alifa..." entah kemana semangat gue, yang jelas gue sedikit grogi dengan situasi ini. Nial mengangkat sebelah alisnya seakan bertanya lo kenapa?

"Nial cerita banyak banget tentang kamu. Aku sampek terharu loh" enggak cuma wajahnya yang enak dipandang, suaranya pun enak didenger. Bahasanya cukup sopan mengingat sapaan yang dia kasih ke gue, 'kamu'.

"Ditungguin dari tadi loh Lif, yok acaranya udah mau mulai" ada semangat yang gue rasakan dari kalimat terakhir Nial.

Tapi kok gue enggak?

"Yuk sama aku aja, kita duduk di sana bareng anak-anak" tanpa aba-aba, Hanah meraih tangan gue dan ngajak gue jalan ke ruang tengah yang udah ditata sedemikian rupa, dengan karpet dan makanan di tengahnya. Dari sini gue bisa liat halaman belakang yang diisi beberapa anak laki-laki lagi main sepak bola. Ada juga sosok laki-laki dewasa yang sedang menggiring bola di sana. Dan saat mengoper bola ke kiri, gue bisa liat wajahnya dengan jelas.

"Kok bisa ada Dimas?" tanya gue refleks.

"Kamu kenal Dimas juga?" Hanah narik tangan gue untuk duduk di karpet bareng dia.

"Temen sedivisi" tanpa mau menoleh ke arah perempuan di sebelah kiri gue.

"Waaah sama-sama pinter gambar dong?" suara Hanah masih seceria tadi. Satu sifatnya yang bisa gue baca, periang.

Hanah cerita gimana Dimas bisa ada di panti ini. Nial yang mengundangnya, udah pasti. Selama Hanah cerita, gue enggak bisa respon dengan baik. Ralat! Bukan enggak bisa, lebih tepatnya enggak mau. Perasaan kerdil saat duduk bersebelahan dengan Hanah mucul. Gue merasa terlihat lebih buruk. Bagai putri dan si buruk rupa, mungkin itulah pikiran orang yang melihat kami duduk bersama. Entah kenapa, perlahan rasa rendah diri yang kemaren-kemaren coba gue kikis, kini menebal kembali.

Nial jalan ke arah kami dengan diikuti Dimas di belakangnya. Tepat dua langkah di depan gue, Nial berbelok dan duduk di samping Hanah. Sedangkan Dimas duduk di sebelah kanan gue. Satu lagi hal yang membuat perasaan gue memburuk.

Balada Cewek BerjerawatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang