Balada Cewek Berjerawat

BAB 10

"Wajah lo?" duh please dong bisa gak sih semua orang itu diem aja tanpa melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa nusuk hati. Tanpa orang lain bilang pun, gue nyadar kalo wajah gue lebih buruk dari sebelumnya.

Kadang gue pun heran. Kenapa setiap orang suka bertanya hal-hal terkait seseorang berubah secara fisik. Misal kenapa makin gendut? Kenapa kurusan? Kok bisa tambah cantik? Atau dalam kasus gue sekarang, kenapa wajah gud tambah parah?

Pertanyaan macam begitu tujuannya apa sih? Bentuk kepedulian? Atau sekedar memuaskan hasrat kekepoan yang enggak bisa ditahan?

"Biasa mau dapet kali" nah ini nih jawaban paling aman yang bisa gue buat membela diri. Kadang ada orang- orang yang suka menyalahkan gue dengan kondisi jerawat gue yang enggak kelar-kelar. Misal nyalahin makanan yang gue konsumsi, nyalahin skincare yang gue pake, bahkan ada yang mengkambing hitamkan air di rumah gue yang dianggap kotor. Ampun Gustiiii.

Gue sering banget memberikan jawaban yang keliatan agak ilmiah untuk menyudahi kekepoan mereka tentang jerawat gue. Misal mau menstruasi lah, atau begadang karena banyak tugas lah, dan masih banyak lagi cuy.

"Liiif kemarin udah gak parah walau masih merah-merah" si Pipit masih betah komentar berdalih peduli tentang wajah gue. Sejujurnya gue pengen ngilang saat ini juga.

Gue cuma senyam-senyum berharap keliatan baik-baik aja di depan Pipit dan Sherly. Pertanyaan dan tanggapan mereka yang sama sekali enggak gue minta itu sebenernya makin bikin gue insecure. Komentar mereka itu sebenernya bisa bikin gue hopeless atas semua usaha gue. Berasa sia-sia gitu.

Dan hal yang paling gue benci adalah saat gue punya perasaan kecewa sama diri gue sendiri. Dan ikut-ikutan menyalahkan diri gue sendiri. Paling parah, gue pernah nyalahin Tuhan kenapa gue diciptakan dengan jenis kulit demikian. Kelewatan banget kan gue.

"Lif yang kemaren gimana?" Dimas datang dengan sebuah pertanyaan yang lumayan menyelamatkan gue. Sherly dan Pipit yang sedari tadi berdiri di depan kubikel gue langsung bubar.

"Gimana apanya?" gue enggak berani ngeliat wajah Dimas. Gue takut dia kaget dengan kondisi kulit wajah gue saat ini.

"Syukur mereka seneng sama gambar gue" gue emang pinter banget keliatan sok sibuk. Gue pura-pura lagi beresin meja gue yang sebenernya enggak berantakan ini. Gue ngelakuin hal kayak gini keliatan banget ya, enggak ngehargain orang yang ngajak gue bicara. Tapi perlu kalian tau, gue begini karena menghindari bersitatap dengan Dimas. Angap aja menyelamatkan mata Dimas buat enggak ngeliat kenistaan wajah gue yang bentol-bentol nggak jelas.

"Betewe besok sibuk nggak?"

"Kenapa emang?" samber gue cepet.

"Mau ngajakin lo sih ke..."

"Gue ada janji" jawab gue cepet. Gue nggak mungkin lupa kalo  besok hari sabtu, dan gue udah janjian sama Nial. Rasanya pengen skip hari ini biar cepet-cepet besok deh.

"Oh oke deh" kata Dimas dan hanya gue balas dengan deheman. Setelah nggak ada yang perlu diobrolin dia kembali ke tempat asalnya.

Sesaat setelah Dimas pergi, gue mencoba berdamai dengan keadaan gue saat ini. Gue perlu mengenyahkan pikiran-pikiran negatif yang bercokol dalam benak gue. Kenapa gue bisa kepengaruh sama emosi negatif dari orang-orang sih.

Lif lo lagi masa purging. It looks worst before it gets better. Tunggu 3 bulan lagi buat liat hasilnya Lif. Lo enggak boleh nyerah!!

Dewi batin gue mencoba menguatkan diri gue sendiri. Kayak jurnal yang gue baca sebelumnya, bahwa masa purging setelah pemakaian tretinoin itu wajar. Kuncinya adalah sabar dan konsisten. Hasilnya akan terlihat setelah 4-12 minggu pemakaian. Sedangkan gue masih belum dapet seminggu.

Jalan gue masih panjang. Dan gue enggak bisa berhenti sekarang. Gue enggak boleh terbawa mood yang kacau dari orang-orang di sekitar gue. Walau hari ini mama dan kedua temen gue cukup menyita stok kesabaran gue, tapi gue mesti restock rasa sabar lagi dan lagi. Perjuangan gue masih baru dimulai.

- - - -

"Pake baju begitu mau kemana?" suara papa ngagetin gue disaat gue nunggu ojol yang gue pesen sampai menjemput gue.

"Mau ketemu Nial pa" jawaban gue emang nggak salah kan. Gue emang mau ke panti atas permintaan Nial.

"Dia jemput?"

"Enggak pa. Langsung ketemuan di TKP"

"Tumben" iya juga sih. Tumben banget Nial ngebiarin gue sendirian ke panti. Biasanya juga kalo mau ke sana pasti barengan.

Yasudahlah

Barangkali dia ada urusan dulu, jadi nggak bisa jemput gue. Angan gue kembali pada waktu Nial main ke rumah pertama kali. Sejak saat itu, papa suka nanya-nanyain siapa Nial buat gue. Gue cukup gelagapan sih jawabnya. Kami emang temen, walau gue berharap membawa pertemanan ini naik satu level dari sekedar rekan kerja.

"Kalo udah serius nggak usah kelamaan Lif. Mumpung ada yang mau. Apalagi Nial baik dan ganteng" si mama nimbrung duduk di samping papa. Akupun ingin begitu ma. Apalah daya yang hanya bisa berharap.

Mumpung ada yang mau

Sebuah kalimat yang menggores sanubari gue. Emang gue se-enggak laku itu ya ma? Percakapan kami pun berakhir setelah si abang ojol udah nunggu di depan rumah gue.

- - - -
"Ini bang"

"Makasih neng"

Di depan panti terparkir mobil Nial yang udah gue hafal nomor platnya. Mobil yang cukup sering gue tebengin. Dan menurut gue udah jadi saksi bisu munculnya benih-benih cinta pertama gue buat Nial. Sedangkan Nial? Entahlah, seenggaknya dari cara dia memperlakukan gue cukup bikin gue berharap. Mungkinkah dia memamg laki-laki yang Tuhan takdirkan buat gue?

Nial yang bisa menghargai gue. Dia yang bantu gue perlahan mengokohkan ke-PeDe-an gue. Kalo ada cowok yang cinta sama gue dan mau mendampingi gue yang gradakan ini sampek bisa jadi glow up, fix enggak bakal gue lepas. Karena itu tandanya dia nerima gue tulus apa adanya. Dan gue berharap Nial lah orangnya.

Tapi di sebelah mobil Nial juga ada motor Vespa item yang pemiliknya bisa gue terka siapa. Tapi mungkinkah?

Perlahan gue mulai mendekati panti. Dari pekarangan luar, gue bisa denger sayup-sayup suara anak-anak sedang ketawa. Kayaknya mereka ada di halaman belakang.

"Hai Alif" bunda Rosa nyambut kedatangan gue dengan senyum manisnya. Gue menyalimi tangannya. Orang lain yang gue suka saat bertatapan langsung adalah bunda Rosa. Beliau ini selalu memandang langsung ke mata gue. Tanpa liat benjolan yang terpampang nyata di wajah gue. Andai mama begini.

"Ayo masuk Lif, udah ditunggu Nial" nah loh, girang banget hati gue stelah denger nama Nial. Apa tadi? Nial nunggu gue? Makin nggak jelas irama jantung gue.

Bunda Rosa menggamit tangan gue dan menggriring gue ke tempat Nial. Kami berjalan beriringan. Dari jarak ini, gue bisa liat punggung tegap laki-laki yang akhir-akhir ini bikin kesehatan jantung gue keganggu. Dia berbalik ke arah gue. Bagai slow motion di film-film roman picisan mata kami bertemu. Refleks gue menampakkan lengkung bibir yang selalu muncul liat wajah Nial yang menenangkan.

"Sayang ini loh yang namanya Alifa"

Sayang?

TBC

Hai readers. Apakah masih ada yang nunggu perjuangan Alifa mengentaskan diri dari jerawat yang enggak kelar kelar?

Siapa nih yang dimaksud sayang sama si Nial? harusnya Alifa jodoh Alifa itu siapa sih?

Nah buat catatan penting ya, Langkah2 Alifa buat mengatasi jerawat ini cukup ekstrim karena enggak menggunakan resep dokter. tapi seperti sebelumnya perndah aku bilang bahwa ada beberapa langkah Alifa yang berasal dari pengalaman pribadi. Jangan ikut2an Alifa ya.

Di cerita ini fokus sama gimana caranya tokoh utama mengatasi jerawatnya, tentang bagaimana mengatasi insecure dan menumbuhkan rasa mencintai diri sendiri, dan dibumbui kisah romansa yang ringan.

Kalo ada reader cowok nih ya boleh dong kasih pendapat seumpama tetiba cewek pasangan kalian jerawatan parah kalian tinggalin atau kalian biayain perawatan? Hayoooo