5 : SILENCE

1K 160 19
                                    

-"Bukankah lebih baik diam daripada mengatakan sesuatu yang menyakitkan?"-
▪️▪️▪️

"Kau yakin tak mau ke dokter?"

Nafas hangat Kim Hanbin beradu di wajah cantiknya. Tubuh dengan aroma menyenangkan itu mendekapnya hangat. Kepala Jennie masih bersandar di dada pria Kim, mencari kenyamanan.

"Tidak, obatku ada disini," seutas senyuman terbit di bibir Hanbin.

Siapa yang mengajarimu begini?" Hanbin terkekeh mendengar ucapan Jennie.

Sangat jarang Jennie Kim jadi se-clingy ini padanya. Selama memadu kasih, mereka kerap terpisah jarak dan waktu akibat pekerjaan yang sama- sama menyita waktu. Komunikasi-pun jarang karena keduanya bukanlah tipe yang saling cemburu atau apa, kepercayaan ada diatas segalanya.

Jemari ramping sang gadis membelai kancing kemeja kekasihnya, menari diatas dada bidang itu.

"Aku merindukanmu," Hanbin mengakhiri dengan sebuah kecupan di dahi, membelai surai hitam sang gadis.

Jennie mengeratkan pelukannya, "aku juga."

Keduanya terdiam beberapa saat, menikmati kehangatan yang mereka ciptakan dari sesi cuddling yang amat jarang mereka lakukan.

"Kau tak pergi bekerja?" Jennie mendongakkan kepalanya, bertanya pada lelakinya yang masih menciumi pucuk kepalanya.

Hanbin menggeleng, "aku juga akan membolos sepertimu," keduanya terkekeh. Jennie dan Hanbin memang orang nomor 1 di perusahaan masing- masing. Selama ini keduanya gila kerja. Mungkin ini pertama kalinya mereka mengesampingkan perusahaan hanya untuk menyisihkan waktu berdua begini.

Keduanya bertemu dalam sebuah pertemuan bisnis, lalu berakhir menjadi kolega. Setelah beberapa kali bertemu, mereka memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih.

Apa sedikit aneh kalau menyebut bahwa keduanya merasa cocok karena pekerjaan?

Jennie bukan tipikal wanita manja dan pecemburu, ia benar-benar cerdas dan mandiri. Ia cukup dingin dan cenderung sarkas, hanya bicara pada orang- orang tertentu.

Hanbin? Ia lembut, namun tak suka berinteraksi dengan banyak wanita. Apa yang menjadi fokusnya hanyalah pekerjaan, pekerjaan dan pekerjaan.

Selama hampir dua tahun, perbincangan mereka hanya sebatas pekerjaan dan apa yang mereka lalui beberapa hari belakangan.

Semuanya sempurna, tak ada pertengkaran atau apapun yang mengganggu keduanya.

"Maaf karena belakangan aku jadi mudah emosi. Apa aku membuatmu jenuh?" Jennie mencicit pelan, mendongak menatap Hanbin.

Lelaki Kim hanya tersenyum kecil, "aku mengerti bahwa kau hanya ingin yang terbaik untuk kita berdua," ujarnya sembari meraih sebelah jemari Jennie  yang masih bermain di dadanya. Menyatukan telapak tangan mereka berdua, lalu menggenggamnya dengan hangat.

"Tapi, kuharap kau tidak terlalu terbebani dan strict begitu," ia berusaha menanamkan pengertian pada gadisnya. Jennie tertunduk sebentar.

"Hey,"

Hanbin mengangkat sedikit dagu Jennie agar kembali menatapnya.

"Aku minta maaf karena tak banyak menemanimu saat persiapan dan kurang memahami keinginanmu. Mulai sekarang aku akan ikut membantu, bagaimana?" membelai pipi gempal kesayangannya, Hanbin melampirkan senyuman manisnya disana.

Gadis itu mengangguk, lalu kembali menenggelamkan wajahnya di dada bidang Hanbin.

"Dua hari lagi ayah mengadakan gathering bersama dengan keluarga besar dan juga kolega bisnisnya untuk merayakan pencapaian perusahaan. Kau akan datang, kan?" lelaki itu kembali membelai pipi bulat Jennie.

Jennie Kim mengangguk kecil.

"Kau harus datang pastinya. Kalau tidak ayah dan ibu akan mencecarku dengan aneka pertanyaan menyebalkan," ucapnya terkikik.

Kim Hanbin kembali mengeratkan pelukannya pada gadisnya. Menurunkan sedikit wajahnya guna mempertemukan hidung mereka, menggeseknya pelan. Ia terkekeh pelan, begitu juga Jennie yang merasa kegelian.

Fisik keduanya memang terlihat bahagia, namun mereka tahu bahwa keduanya sama- sama sedang meringis dalam hati. Menyembunyikan apa yang mungkin akan meledak pada waktunya.

"Maaf kalau aku merusak suasana--," ucapan Hanbin tertahan, melihat perubahan raut Jennie.

"-kuharap kita bisa bertahan seperti ini dan bahagia selamanya," ujarnya dengan sebuah senyum lirih.

Dalam hati Jennie pun mendoakan keinginan prianya. Diselingi ribuan permintaan maaf yang hingga kini turut memenuhi jiwanya.

"Maaf kalau aku egois, tapi kau tau aku sangat mencintaimu, kan?" Jennie bersuara, senyuman manis Hanbin ia dapat sebagai jawabannya.

Baik, mungkin ini semua hanya tentang waktu. Akan ada saatnya dimana mereka saling terbuka. Ketika itu terjadi, ia tak tahu akan seperti apa hubungan mereka kedepannya.

***

"Aku mencari Tuan Kim Hanbin."

Wanita dengan rambut panjang nan lurus itu menatap ramah seorang Front Office yang menyapanya.

"Maaf, Tuan Kim sedang tidak ada di tempat sekarang," balasnya sopan.

Wanita itu menghela nafas perlahan, menggenggam erat satu map berisi beberapa dokumen yang ia bawa.

"Apa ia akan kembali ke ruangan hari ini?" tanyanya lagi.

"Untuk sekarang aku belum bisa memastikan. Tuan mengatakan untuk tidak mengganggunya hari ini. Apa ada sesuatu yang ingin kau titipkan?"

Matanya memicing sebelah, mengernyit tak senang mendengar jawaban. Sepersekian detik kemudian ia menggeleng pelan, "tidak, terimakasih. Aku akan kembali lain waktu," ucapnya sembari berbungkuk lalu membalikkan tubuhnya.

Ia meraup ponselnya, lalu berusaha menghubungi lelaki yang benar- benar menyita perhatiannya itu.

Tak tersambung, lelaki itu sepertinya menonaktifkan ponsel.

"Kuharap kau tidak sedang menghindariku, Kim!"

***

Baik kan aku double update? 😅

BEFORE D'DAY ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang