-"Ketidaksempurnaan membuatnya sempurna. Kekurangan membuatnya berkecukupan. Namun hanya kesetiaan yang mampu membunuhnya"-
▪️▪️▪️Memungut helaian kain yang tercecer di lantai, tubuhnya masih bergetar. Menahan rasa sesak yang rasanya terus memporak porandakan hatinya.
Tenang, ini bukan akhir dari segalanya. Lagipula ini hanya one night stand, apa yang serius?
Sebagian dari dirinya mencoba berpikir positif, namun sayangnya itu sama sekali tak bisa melegakan dirinya.
Pertama, ONS isn't Jennie's things! Its a big no! Meskipun dulu ia kerap keluar masuk klub, bukan berarti ia suka berganti pasangan ranjang. Kali pertama dan terakhirnya ia lakukan dengan calon suaminya. Itupun mereka lakukan setelah hampir dua tahun menjalin kasih.
Kedua, ia baru saja melanggar janji dan aturan yang telah ia buat sendiri. Ini menjijikkan, dan Jennie benci mengakui bahwa ia telah melanggar janji yang ia ucapkan sendiri.
Ketiga, rasa bersalah terus menghantui dirinya. Bagaimana kalau calon suaminya itu tau?
Alasan mengapa mereka memilih menikah tahun ini karena lelaki yang dicintainya itu ingin mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Meskipun ia tak hamil, tapi merebut mahkota yang Jennie jaga selama ini menurutnya adalah sesuatu yang harus ia tanggung. Lelaki itu telah menandai Jennie sebagai miliknya, maka mereka harus tetap bersama.
Setidaknya itu yang keduanya percayai.
Tapi apa yang terjadi hari ini membuat Jennie merasa benar- benar berdosa.
Calon suaminya bukan lagi satu-satunya lelaki yang pernah menjamah tubuhnya.
Setetes air akhirnya meluncur di pipi tembamnya. Tepat ketika lelaki yang masih bertelanjang dada itu keluar dari kamar mandi. Air yang mengalir dari rambut basahnya nampak menuruni kulit kecoklatan miliknya.
Tak mau beradu pandang lama, Jennie menyelesaikan tarikan pada resleting roknya.
Lelaki yang menguarkan aroma segar itu tengah memandangnya sembari bersandar di pintu. Bersidekap di depan dada, hanya menonton Jennie yang masih bungkam.
"Kau akan langsung pulang?"
Gadis itu melirik sekilas, "bukan urusanmu!"
Senyuman iblis terbit di paras tampannya, "apa begitu caramu menjawab pertanyaan setelah kita melalui malam yang indah bersama?"
Menarik tas tangannya yang tergantung, "tidak ada kata kita. Lupakan kemarin dan hari ini, mari tidak bertemu lagi!" Jennie mengeluarkan sebuah tatapan tajam sebelum membuka lalu membanting pintu kamar berwarna putih. Meninggalkan lelaki yang menatapnya licik itu.
***
Menggosok seluruh tubuhnya dengan kasar, berusaha mengenyahkan tanda- tanda menjijikkan yang melekat di tubuhnya. Tangisnya masih menggema memenuhi kamar mandi, ia merasa benar- benar kotor sekarang.
Masih dengan mata sembabnya, Jennie berjalan mendekati bathtub, berendam disana setelah menyiapkan aneka aroma favoritnya. Berusaha merilekskan tubuhnya yang terasa nyeri di banyak bagian.
Perlahan matanya terpejam, berusaha menenangkan pikirannya yang kacau.
Sial, sial, sial!
Terus merutuk dalam hati. Ia bahkan tak pergi ke perusahaan hari ini karena suasana hatinya benar- benar buruk.
"Ruby, kau di dalam?"
Ketukan pintu menyadarkan lamunannya. Suara yang amat ia kenal menyapa gendang telinganya, selain gemericik air yang sedari tadi memenuhi ruangan.
Suara indah itu justru semakin menusuk hatinya sekarang.
"Kau sakit? Kau mengabaikan panggilanku," nada lembut sang lelaki kembali terdengar.
Jennie menggigit kecil bibirnya, "sebentar!"
Perlahan ia keluar dari bathtub lalu melilitkan bathrobe miliknya. Memandang sebentar kearah cermin, memastikan tak ada satupun bekas laknat yang terlihat.
Ia tersenyum miris, "benar- benar kacau," ucapnya ketika menyingkap beberapa bagian. Lagi ia membenahi letak kain yang membalut tubuhnya. Memastikan semua bagian itu tertutupi sempurna.
Dengan sebuah helaan nafas berat, tangan kanannya mencengkram pintu, mengumpulkan kekuatannya.
Cklek.
Baru saja keluar kamar mandi, matanya langsung bersitatap dengan tatapan teduh milik lelaki Kim yang masih berdiri di depan kamar mandi. Setelannya masih amat rapi, begitu pula dengan rambut yang selalu ia tata dengan baik itu.
Raut khawatir hinggap disana.
"Kau baik- baik saja? Rose bilang kau izin dari kantor karena tak enak badan," ucapnya sembari menyentuh lembut pipi dingin sang gadis.
Jennie menunduk sebentar, menepis pelan tangan hangat calon suaminya itu lalu berlalu melewatinya.
"Bukankah seharusnya kau pulang besok? Kenapa sudah sampai pagi ini?" tanya Jennie yang justru mengalihkan pembicaraan. Ia duduk di depan meja rias, memulai ritual skincarenya.
Lelaki itu berjalan mendekat, menempatkan tubuhnya dibelakang tubuh sang gadis. Mendekap tubuh mungil itu dari belakang dan menghirup aromanya dalam- dalam.
"Aku khawatir," lirihnya.
Jennie melirik dari ekor matanya, "kenapa?"
Lelaki itu kembali melirik Jennie via cermin, memperhatikan wajah sembab dan raut tak biasa sang gadis yang justru kian mengusiknya.
"Ada sesuatu yang harus kujelaskan," tuturnya. Mengecup sekilas punggung yang tertutup bathrobe. Lelaki itu berdiri membenahi posisinya, bersiap menyampaikan sesuatu.
Sebelum bibir itu kembali berucap, Jennie lebih dulu berbalik. Mencengkram kerah rapi itu lalu berjinjit untuk membungkam bibir ranum yang ia rindukan setengah mati.
Lelaki itu awalnya diam, namun kini tangannya memeluk erat pinggang sang gadis. Memperdalam lumatan mereka, menyesap kuat candu yang membuatnya mabuk setiap saat.
Sebuah pukulan pelan di dada menyadarkannya, membiarkan kekasihnya memutuskan tautan keduanya. Mereka bertatapan lekat, seolah mengirim sinyal bahwa memang ada sesuatu yang tak beres.
"Ruby.."
Dengan tangan kanannya, Jennie menyentuh rahang lelaki itu lalu merayap di bibirnya, membelai perlahan. Menatapnya dengan pandangan berkaca lengkap dengan cairan yang menggenang di pelupuk mata indahnya.
"Untuk saat ini kumohon jangan katakan apapun, Kim Hanbin."
***
Jadi kalian masih mau lanjut baca meskipun sakit? 🥺