Bismillah
Semoga suka
Happu reading
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Mungkin karena perjalanan jauh, tubuh kurang fit, ditambah tekanan batin yang darimana-mana. Akhirnya, hari ini aku benar-benar tumbang.
Yang biasanya aku hanya sakit perut atau demam. Sekarang sakit kepala lebih mendominasi, perut juga terasa terobrak-abrik seperti ingin mengeluarkan sesuatu tapi tak bisa.
Dari kemarin sudah periksa ke mantri di kecamatan yang memang aku cocok dari dulu. Tapi gak ada perubahan sama sekali setelah dua hari kemudian.
Bahkan saking pusingnya, aku gak bisa shalat berdiri. Maka dari itu aku selalu shalat duduk, walau saat aku ingin berwudhu' harus ada yang memapahku ke toilet. Jangan tanya kenapa, tentu karena toilet di Madura pisah dengan rumah, sekitar limar meter dari samping rumah.
"Nanti malam ke Bidan Emi aja Na." kata bapak sambil mengelus rambutku dengan posisi aku tiduran menghadap dada dan perut buncit bapak.
Aku mengangguk menikmati elusan tangan kasar nan besar bapak.
"Bapak kok betah deket sama Kakak. Deket-deket Kakak tuh panas tahu rasanya Pak." seru Anis saat memasuki rumah lalu berlalu keluar bersama Azza dan Vita.
Ah, badanku sebenarnya panas kalo malam. Sedangkan kalo siang rasanya gerah terus, tapi kata bapak yang megang tetep panas katanya.
"Enggak panas kok. Gak kerasa, kan Kakak anak bapak." canda bapak agar hatiku tak tersinggung yang tengah sakit ini.
Aku menutup mata sambil menikmati elusan bapak yang lumayan meredakan pusing.
"Pak, itu ada Wafii di depan Pak." kata mamah yang masih ku dengar.
Aku tetap mempertahankan posisi tiduranku memunggungi pintu. Ya, aku tidur di kasur springbad tanpa ranjang yang menghadap televisi dan di sampingku ada pintu.
Hampir saja aku benar-benar terlelap saat mendengar langkah kaki bapak yang sudah aku hafal dengan sangat-sangat.
"Tidurkah Ina Man?" tanga Cak Wafii, suara bas halusnya sangat aku hafal.
Ah, rasanya aku grogi karema aku sadar mereka berdua duduk di belakangku pas menatap punggungku. Yang aku khawatirkan, takut bajuku sedikit tersingkap ke atas dan memperlihatkan pingang hitamku. Aku lupa gak pakai selimut lagi, duh tambah gerah aja.
"Iya. Tadi habis shalat terus Paman kelonin langsung tidur." jelas bapak sambil mengusap keringat di pelipisku.
"Sudah periksa ke Bidan Man?" tanya Cak Wafii lagi. Jangan heran, bukan dokter kalo di sini, lebih banyak bidan yang membuka praktik di rumah dan ada pak mantri juga.
"Sudah, tiga hari yang lalu." kata bapak.
"Ini kopinya Fii." kata mamah yang sedikit aku intip saat mamah datang dari pintu dapur yang berhadapan denganku.
"Enggeh Bi. Makasih." sahut Cak Wafii dengan santun.
Ah, kepalaku rasanya makin pusing mikirin takut ketahuan aku pura-pira tidur. Udah badan gak enak tetap satu gaya, kalo banyak gerak nanti ketahuan lagi. Duh...
"Udah mendingan belum Man?"
"Belum. Bahkan badannya makin panas aja. Pusingnya juga gak reda-reda. Bahkan tadi shalat aja duduk sama berwudhu' aja dipapah sama mamahnya." jelas bapak lagi-lagi mengelus pelipisku yang berkeringat.
"Kemarin periksa kemana memangnya Man?"
"Ke Pak Utomo. Ina memang cocoknya sama Pak Utomo."
Hening, aku tak mendengar apa-apa lagi. Justru aku mendengar seruputan Cak Wafii yang aku yakini dia menyeruput melalui piring kecil alas gelas kopi tersebut. Kebiasaanya.
Lalu bapak mulai mengalihkan pembicaran menuju kerabat Cak Wafii yang katanya ada yang tengah jual tanah.
Aku rasanya mulai pegal dengan posisi memunggungi mereka. Rasanya aku ingin bangun dan sok gak tahu aja, tapi malu...
Aku memaksa dengan hati kulkas. Aku mulai menggeliat, dengan mata sok mengerjab-ngerjab tanpa beralih membalikkan badan.
Setelah sok mengumpulkan nyawa, aku telentang dan menengok pada mereka yang seketika berhenti membahas tentang perampokan teman Cak Wafii yang di Surabaya.
"Ina mau makan dulu?" tanya Bapak seraya bangun. Ah, beliau pengertian banget...
Aku menggeleng dengan sangat pelan. Ah, sakit kepalaku ini menyusahkan ku bergerak. Apalagi jika berdiri, rasanya seperti berpijak saja tak kuasa dengan pandangan tak fokus.
Beliau keluar seraya menepuk bahu Cak Wafii yang tadinya menatapku dengan lekat lalu menoleh pada bapak sambil mengangguk.
Setelah bapak keluar dengan pintu yang beliau buka selebar-lebarnya. Angin gersang panas berhembus dengan beberapa debu yang ikut.
"Dek, kerudung kamu mana? Cacak ambilin ya?" katanya seraya berdiri menuju kasurku yang ada di pas di belakang kepalaku.
"Yang awarna merah Cak." jawabku dengan suara serak. Ah gak enak, yang biasa cempreng jadi gini.
Cak Wafii mengambil kerudung instanku dari kepala kasur lalu menyerahkan padaku dan kembali duduk bersila di tempatnya.
Aku berusaha duduk dengan bertumpu pada lenganku. Rasanya duduk saja pandanganku berputar dan tambah tak fokus.
Aku mengernyit menahan sakit kepala seraya memakai kerudung dengan perlahan.
Setelah terpasang dengan benar, aku kembali tiduran dengan sangat lega. Karena rasanya rebahan itu nikmat dunia.
"Cak Wafik dateng buat apa?" tanyaku padanya sambil tiduran miring menghadapnya dan menarik selimut menutupi rok yang sedikit tersingkap.
"Mau ajak Adek ke kota beli sempol. Tapi pas nyampe ke sini, kata bibi Adek sakit." jelasnya dengan senyuman.
Hening, tak ada lagi suara yang keluar dari kita. Aku ingin terlentang, tapi rasanya kurang enak jika gaya tidurku seperti itu.
"Ina periksa ke Bidan Nina aja nanti malam kalo belum mendingan." sarannya sambil menyeruput kopinya.
"Iya, kata bapak sih ke Bidan Emi aja. Ina lebih cocok ke Bidan Emi sih Cak." kataku.
Cak Wafii mengangguk. Ah rasanya kita sama-sama canggung karena lamaran resmi kemarin. Seketika aku teringat kata-kata Cak Wafii yang tak ada panjang-panjangnya dan tak ada romatisnya sama sekali.
"Kenapa Dek?" heran Cak Wafii. Mungkin dia sadar perubahan mood-ku.
Aku mencebik padanya, "Cak Wafii kemarin gak romantis sama sekali." ketusku.
Dia malah terkekeh dengan indahnya, "Kenapa Cacak gak mau romantis?"
"Ya mbuh ya Cacak!" sentakku malas.
Dia kembali terkekeh dengan suara bas halusnya, dia kembali menyeruput kopinya.
Aku mencebik kesal, "Cacak mah gitu." aku masih berusaha menahan pusing yang mendera.
"Cacak itu gak mau romantisin Adek kenapa coba?" sok banget dia, kaya aku mau nebak aja, "Cacak itu tahu, perempuan itu makhluk perasa. Tindakan Cacak itu sangat berpengaruh. Makanya Cacak gak mau romantisan sekarang, takutnya Adek terlalu baper dan terlalu berharap sama Cacak. Takutnya Allah melaknat dan takutnya Adek kecawa karena Cacak romantis hanya saat sebelum menikah dan menurut Adek Cacak gak romantis setelah menikah. Makanya Cacak bersikap sewajarnya saja. Demi kebaikan dan kedamain bersama juga kan ya." jelasnya diakhiri kekehannya.
Biar gak baper ya? Lalu sekarang apakah aku boleh baper Cak?
🙌🙌🙌
Alhamdulillah
Semoga suka, jangan lupa ngaji teman...
KAMU SEDANG MEMBACA
High School World [END]
Teen Fiction"I Love you Adit." itulah isi DM-ku padanya. "Sorry, i have no intention of dating i hope we just friends." maka itulah balasannya. Wajahnya Adit itu muka-muka chinese gitu. Tinggi normal 170cm, kulit putih sedikit kemerahan di area wajahnya karen...