24. Pertemuan Dengannya

9.1K 529 27
                                    

Erza mendesah pelan saat Bunda Nia menyodorinya tiket pesawat untuk terbang ke Edinburgh. Bunda mengajaknya ikut ke Edinburgh untuk menghadiri acara resepsi pernikahan anak rekan bisnisnya Ayah. Sementara Ayah sendiri tidak bisa pergi ke sana karena ada urusan bisnis yang mendesak. Jadilah Bunda yang berangkat. Dan Bunda memaksanya ikut dengan alasan sebagai wakilnya Ayah. Konyol sekali kan ibu tirinya itu. Sialnya lagi Ayah juga menyetujui ide Bunda untuk mengajaknya ke Edinburgh. Ponsel Erza berdering saat ia masih sibuk di depan laptopnya.

"Kamu udah packing?" tanya Bunda dari telepon.

"Belum, Bunda," jawab Erza singkat.

"Apa? Berangkatnya kan nanti malam. Kok kamu belum packing sih, Erza."

"Ya ini aku masih sibuk sama kerjaan aku, Bun."

"Udah, tinggalin kerjaan kamu. Nanti biar diurus Ayah kamu. Sekarang kamu pulang terus packing."

"Bunda tenang aja. Aku bakal cepet packing-nya. Lagian di sana cuma dua atau tiga hari aja."

"Kita ke sana seminggu. Sekalian sama liburan."

"What? Seminggu?"

"Iya."

"Tapi kan kerjaan aku banyak, Bun. Mana bisa ditinggal liburan gitu aja," protes Erza.

"Ayah kamu nggak masalah kok kalau kamu bolos ngantor selama seminggu."

Erza berdecak heran. Tumben sekali Ayah membiarkannya liburan lama. Biasanya Ayah selalu mengeksploitasinya di kantor. Apalagi liburannya seminggu. Ayah biasanya jarang memberi waktu untuk sekadar liburan. Ayah sendiri saja jarang liburan.

"Bunda nggak mau tahu pokoknya nanti nggak boleh telat ke Bandara. Sayang kalau tiketnya hangus. Lagian Bunda udah bayar sewa hotel untuk di sana. Sayang kan kalau nggak kepakai. Mahal tahu biaya liburan ke sana." Bunda masih mengomel tak jelas. Erza heran mengapa ibu tirinya ini hobi sekali mengomel?

"Iya, Bunda. Iya."

"Kalau kamu nggak bisa packing sendiri. Biar Viona ke sana bantuin kamu packing."

"Nggak usah. Aku bisa packing sendiri."

"Oke, nanti Bunda suruh Pak Mamat buat jemput kamu." Pak Mamat adalah sopir di rumah Ayah.

"Erza bisa berangkat sendiri bandara."

"Enggak. Kamu dijemput Pak Mamat aja. Nanti kalau bawa mobil sendiri kamu pasti telat. Bisa hangus nanti tiket pesawatnya."

Erza mengembuskan napas frustasi. Percuma ngomong dengan Bunda karena ia pasti kalah. The power of emak-emak memang nyata. Erza hanya bisa pasrah menuruti titah Bunda. Ia tak mau berdebat panjang-lebar dengan Bunda.

"Iya, Bunda. Iya."

"Nah, gitu baru anak yang baik."

Meski pun Bunda sangat cerewet, tapi Erza tahu Bunda sangat menyayanginya dan Viona seperti anaknya sendiri. Lagi pula Bunda memang tidak bisa punya anak karena saat menikah dengan Ayah usianya sudah 40 tahun. Terlalu beresiko jika Bunda memaksakan hamil saat itu. Semenjak Erza resmi menjadi duda, Bunda juga sering mengirim makanan ke rumahnya, apalagi kalau asisten rumah tangga pulang kampung.

Erza menutup laptopnya setelah semua pekerjaannya selesai. Ia mengambil jas yang tersampir di sandaran kursinya. Lantas memakainya dengan cepat. Langkah kaki Erza berjalan cepat melewati koridor kantor. Para karyawan menyapanya saat berpapasan. Beberapa karyawan wanita terkadang bergosip membicarakan status dudanya. Namun, Erza sudah kebal dengan semua pergunjingan mengenai dirinya yang menyandang status duda di usia pernikahan yang masih seumur jagung. Tidak ada gunanya menanggapi para penggosip itu.

Imperfect WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang