7. Tragedi Sarapan

7.9K 565 40
                                    

Vanda menatap punggung yang membelakanginya. Setidaknya malam ini ia berhasil membujuk Erza untuk tidur di kasur setelah mengganti bajunya dengan piyama berlengan panjang. Namun, Erza malah memunggunginya. Terdengar suara dengkuran halus Erza yang kini meringkuk memeluk guling. Vanda masih gelisah dan tidak bisa tidur. Padahal ia sudah mengisi perutnya barusan. Ya, Vanda akhirnya makan malam sendirian.

Vanda mendekati tubuh yang meringkuk di sebelahnya. Wajah Erza yang menakutkan mendadak kelihatan polos saat tidur seperti ini. Entah apa yang dipikirkannya, tangan  kanan Vanda bergerak mengelus pipi tirus dan rahang tegas milik Erza. Cukup lama ia melakukan itu. Hingga pergerakan tubuh Erza menghentikannya. Erza mengubah posisinya menjadi terlentang. Satu lengannya menutupi matanya. Untung saja pria itu tidak terbangun. Bisa menjadi masalah besar kalau Erza tahu bahwa Vanda diam-diam menyentuh wajahnya.

"Rara ...," desis Erza. Bahkan saat tidur pulas pun ia masih mengigau menyebutkan nama Rara.

"Rara ... kenapa ninggalin aku." Lagi, Erza mengigau. Nama Rara terucap lagi.

Mendengar suaminya menyebut nama perempuan yang menjadi dinding pembatas mereka, Vanda tak bisa lagi menahan deraian air mata yang sedari tadi ditahannya.
Vanda kini juga meringkuk memeluk guling. Air matanya terus menetes hingga merembes ke serat-serat kain sarung bantalnya. Ia tidak tahu sampai kapan Erza akan memperlakukannya seperti orang asing.

Kadang ia bertanya-tanya, mengapa ia harus mengalami semua ini? Ditolak pria yang dicintainya, melepas karirnya, lalu membuang impiannya untuk melanjutkan studi demi menikah dengan Erza, pria yang tidak mencintainya dan mungkin tidak pernah berusaha untuk mencintainya. Menyesal? Tidak. Vanda tidak akan menyesal. Ia yakin suatu hari nanti ia bisa mencairkan es yang menyelimuti hati suaminya. Vanda yakin ia bisa melakukannya.

***

Erza membuka matanya saat alarm di ponselnya berbunyi. Tangannya meraba-raba ponsel yang diletakkan di atas nakas, lalu mematikan alarmnya. Erza mengerjap beberapa kali sebelum bangkit dari ranjang. Ia melirik ke samping, tapi tidak menemukan sosok Vanda di sebelahnya. Mungkin perempuan itu sudah terbangun lebih dulu.

Erza berjalan menuju kamar mandi guna membersihkan dirinya. Tak butuh waktu lama bagi Erza untuk menyelesaikan ritual mandinya. Ia mengambil kaos dan celana selutut dari dalam lemari. Erza menatap kamarnya sekilas. Di meja rias ada skincare dan kosmetik milik Vanda tertata rapi di sana. Ia masih tak menyangka akan berbagi kamar dengan perempuan yang tidak dicintainya.

Daripada terus memikirkan nasib apesnya yang menikah dengan Vanda, Erza pun turun ke lantai dasar. Perutnya keroncongan. Salahnya sendiri kemarin malam ia menolak ajakan makan malam Vanda dengan alasan sudah makan di luar. Padahal kemarin malam Erza belum makan sejak siang. Erza merutuki dirinya sendiri yang begitu bodoh.

Erza tidak melihat keberadaan Vanda di ruang tengah maupun di dapur. Ia hanya melihat Mbak Rani yang sedang mencuci piring di dapur. Erza mengambil air putih dari water dispenser. Diteguknya air putih itu sampai habis, tapi perutnya masih lapar. Erza membuka tudung saji. Tidak ada makanan di dalam tudung saji itu.

"Bapak mau sarapan?" tanya Mbak Rani.

"Iya."

"Ibu bilang kalau bapak sarapan langsung ke teras belakang saja, Pak. Ibu sudah menyiapkan sarapan untuk Bapak di sana."

Erza mengangguk. Ia melangkah ke teras belakang. Di teras belakang memang ada meja dan kursi di sebelah kolam renang kecil. Erza melihat ada dua cangkir kopi dan brownies di meja itu. Kopi itu juga masih mengepulkan asap ketika Erza membuka penutup cangkir. Berarti belum lama Vanda membuatkan kopi ini untuknya. Erza memutuskan duduk di kursi sembari menyeruput kopi hangat. Brownies yang ada di piring saji ada dua macam. Satu ditaburi keju dan satu ditaburi kacang almond. Sejenak Erza berpikir, apakah Vanda juga yang membuat brownies ini?

Imperfect WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang