18. Surat Wasiat

6.8K 448 35
                                    

Menyerah, kata yang masih terngiang-ngiang di kepala Vanda. Bagaimana mungkin ia bisa bertahan saat Erza sudah mengikrarkan kata berpisah pada Papa sebelum Papa pergi. Seolah Erza memang sudah tidak bisa melabuhkan hatinya untuk Vanda. Entahlah pikiran Vanda masih sangat berantakan saat ini. Bahkan ketika rumah Papa sudah sepi dari orang-orang yang ikut pengajian kirim doa, Vanda belum bisa menata kembali pikirannya. Perempuan itu masuk ke dalam kamar Papa yang kosong. Barang-barang Papa masih tertata rapi di dalam. Vanda meraih bingkai foto yang terletak di atas meja. Bingkai foto itu berisi foto ketika Vanda masih kecil bersama Papa, Mama dan Kak Vano. Dipeluknya bingkai foto itu erat. Tangis yang sedari tadi ditahannya pun kini tumpah ruah. Vanda duduk meringkuk di samping ranjang Papa. Tangannya masih mendekap erat foto penuh kenangan itu.

"Kenapa kalian harus ninggalin aku. Kalian jahat. Papa, Mama dan Kak Vano jahat," gumam Vanda disertai isakan miris.

Di tengah isakan demi isakan itu, tiba-tiba Vanda merasakan ada seseorang yang mendekap tubuhnya. Vanda tahu betul siapa yang merengkuhnya sekarang. Wangi maskulin dan kehangatan itu hanya milik Erza. Ya, pria itu kini mendekap Vanda. Tangannya menepuk-nepuk punggung Vanda yang bergetar. Pertahanan Vanda telah runtuh di pelukan itu. Tangisnya semakin pecah.

Erza sendiri sudah menyadari bahwa Vanda tak sekuat yang ia lihat. Anak mana yang kuat jika tiang penyangga yang membuatnya berdiri selama ini telah hilang? Erza tahu rasanya ditinggal orang tua saat Bunda meninggal. Beruntung ia masih punya Ayah, Viona dan kini punya Ibu tiri yang baik hati. Tangan Erza juga mengelus kepala Vanda. Lalu mengecup pucuk kepala Vanda dengan lembut. Entah apa yang merasuki Erza, pria itu hanya ingin membuat Vanda lebih tenang.

"Udah, Van. Jangan nangis lagi," bujuk Erza seraya mengecup puncak kepala Vanda sekali lagi.

"Aku udah nggak punya siapa-siapa lagi, Mas." Bukannya tenang. Isakan Vanda malah semakin keras.

"Husss! Nggak boleh ngomong gitu."

"Kalau Papa pergi, aku sama siapa? Aku nggak punya siapa-siapa lagi." Tangan Vanda mencengkeram erat kemeja Erza. Kepalanya masih terbenam dalam di dada Erza. Vanda tak peduli lagi meski Erza tidak mencintainya. Vanda tetap menumpahkan kesedihannya di dada bidang milik Erza. Untungnya Erza membiarkannya. Ia tidak protes sama sekali saat baju kemejanya terasa basah karena tumpahan air mata Vanda.

"Kamu yang sabar," ucap Erza.

"Kenapa dunia ini nggak adil, Mas? Kenapa orang yang aku sayangi pergi semua?"

"Nggak boleh ngomong kayak gitu," sahut Erza.

"Nyatanya emang gitu."

"Kamu ... masih punya aku," ucap Erza lirih. Mendengar kalimat itu, Vanda mendongakkan kepalanya. Disekanya air mata yang masih mengalir.

"Tapi aku nggak yakin kamu mencintai aku."

"Tanpa cinta pun, sekarang aku punya kamu. Kita masih suami-istri."

Tak tahu Erza mengatakannya serius atau hanya isapan jempol semata, Vanda sedikit lega mendengarnya. Ia membenamkan lagi kepalanya di dada bidang Erza. Menumpahkah semua kesedihannya pada sang suami. Sampai kapan Erza bisa luluh dan bisa mencintai Vanda, biarlah waktu yang menjawabnya. Sekarang yang terpenting ada sedikit harapan bagi Vanda untuk tetap bertahan akan pernikahan ini. Setidaknya ada satu orang yang dapat dijadikan pegangan saat ia ingin rubuh karena kepergian Papa.

"Kamu mau nangis sampai kapan?" tanya Erza datar.

Vanda menggeleng dan tak mengeluarkan sepatah kata pun. Tangannya tetap membelit tubuh Erza. Tak peduli jika suaminya itu merasa risih.

Imperfect WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang