(14) Nostalgia

236 42 8
                                    

Dulu aku meminta pada Tuhan, untuk jadikan kamu masa lalu dan masa depanku. Sekarang aku meminta agar kamu menjadi masa akhir di hidupku.

***

Azan subuh berkumandang lima menit setelah alarm di kamar berbunyi. Rissa membuka matanya, menoleh ke kiri mendapati Arief yang masih tertidur. Perempuan itu mengulas senyum, matanya terpancar sinar kebahagiaan.
Dalam hatinya sangat bersyukur masih dipertemukan kembali dengan separuh jiwanya. Ia masih belum percaya, ini seperti mimpi baginya.

"Jangan diliatin mulu akunya, kan jadi malu," goda Arief masih dengan mata terpejam.

Sontak Rissa memutar tubuhnya menghadap plafon, ia mengulum senyum sambil menarik selimut menutupi wajahnya. Ia tidak pernah semalu ini. Sepuluh tahun Rissa mengenal Arief, tidak sedikitpun perempuan itu menaruh perasaan. Namun, semuanya berubah setelah ijab dan kabul terucap.

Arief menarik selimut dari genggaman Rissa lalu melingkari tangannya ke badan Rissa. "Selamat pagi, istriku," bisik Arief.

"Pagi," jawab Rissa seraya menyingkirkan tangan Arief dan langsung beranjak. Arief gemas melihat Rissa yang salah tingkah.

Sehabis sholat berjamaah. Arief menuntun Rissa mengulang hafalan surat pendeknya.  Perempuan itu masih mengingat dengan jelas ketika Arief menyimak hafalannya untuk disetorkan pada Ibu Siti, guru agama di sekolahnya dulu. Arief si tukang jahil suka sekali membuat Rissa emosi.

"Inna hadza lafissuhufil ula."

"Hadza," potong Arif.

"Hadza," ikut Rissa.

"Dza, Ris, Dza," sahut Arief lagi.

"Iya, Dza. Bener kan? Telinga lo tu yang budeg," ujar Rissa kesal.

Kemudian Arief tertawa kecil.

Sepotong kisah SMA-nya itu tidak sengaja teringat oleh Rissa, membuat perempuan itu tersenyum. Arief mengerutkan keningnya. "Kamu kenapa?"

"Ha, kenapa?" tanya Rissa balik.

"Senyum-senyum sendiri."

"Gak papa," jawab Rissa masih dengan senyuman, ia enggan mengungkapkan alasannya.

"Ya udah lanjut," pinta Arief.

"Aku lupa," jawab Rissa.

"Tuh kan. Makanya kalo lagi hafalan jangan mikirin aku."

"Ih kok kepedean banget." Rissa menutup Al-Qur'an sembari berdiri, meletakkan benda suci itu di atas nakas.

"Lah kan belum selesai?"

"Shodaqallahul adzim," ucap Rissa sambil melipat mukenanya. Dan berlalu keluar kamar. "Aku mau masak, kamu mau dimasakin apa?"

Arief bengong melihat tingkah Rissa yang sejak tadi mengherankan. Lantas lelaki itu menyusul Rissa ke dapur.

"Masak apa?" tanya Arief yang sedang memperhatikan Rissa mencincang-cincang daging.

"Gak tau namanya apa, aku mau tumis sama wortel dan brokoli," jawab Rissa. Ia memang belum pandai memasak dan  masih belajar demi menjadi istri yang baik untuk Arief.

Arief mengangguk. "Aku tunggu ya. Mau mandi dulu," ujar Arief hendak melenggang tapi berhenti saat Rissa menyahut.

"Ini hari Minggu, kan?"

"Iya. Kenapa?"

"Kita jalan-jalan yuk!"

"Dengan senang hati nyonya Arief." Arief pun mencolek pipi mulus milik Rissa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 17, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love in HalalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang