(10) Kesalahpahaman

2.4K 157 38
                                    

Hidupku tanpamu itu ibarat ruangan tanpa benda, hampa.

***

Arief membuka matanya perlahan, aroma masakan menyeruak di Indra penciumannya. Ia bangun dari tidur, duduk sejenak sembari membaca doa. Kaki panjangnya ia langkahkan menuju sumber bau tersebut.

Arief mendapati Naura yang tengah berkutat di dapur. Perempuan itu tampak ke ibu-ibuan di umurnya yang masih terbilang muda. Tiba-tiba saja Arief teringat akan Rissa. Ralat, bukan tiba-tiba. Tetapi hampir setiap detik lelaki itu memikirkan istrinya.

Kejadian dimana Rissa yang ketakutan akan percikan minyak, Arief memutar kenangan kembali. Rissa memanglah bukan perempuan yang pandai masak seperti Naura. Namun, tak seorang pun yang dapat menggeser posisi dosen muda itu di hati Arief.

"Mas, udah bangun?" Naura baru menyadari kehadiran Arief.

"Iya," jawab singkat Arief yang diiringi dengan meneguk segelas air putih.

Naura menghidangkan makanan tersebut di hadapan Arief. "Bibi, ayo makan!" Meski di Mesir. Terhadap bibinya, Naura juga sering menggunakan bahasa Indonesia.

"Ayo, Mas, makan!" Naura meraih sendok untuk menyeduh nasi Arief.

"Aku mau ngomong serius sama kamu!" Arief membuka topiknya yang tampaknya tidak menyenangkan bagi Naura.

"Makan dulu aja, Mas!"

Arief membuang nafas panjang. Ia menunduk, enggan menatap Naura, meski perempuan itu telah menjadi istri sahnya dimata agama.

"Udah tiga bulan kamu nahan aku disini!"

Naura tak jadi menyuapi mulutnya dengan sesendok nasi yang sudah terangkat ke atas.

"Terlalu banyak alasan kamu biar aku gak pergi. Selama ini aku udah cukup sabar untuk menghargai keputusan kamu. Tapi aku juga punya keluarga di Indonesia, kasihan mereka pasti khawatir." Arief memberi jeda sejenak. "Jadi kapan kamu mau menanda tangani surat perceraian?"

Naura menitihkan air mata. "Mas, aku mencintaimu!"

"Sudahlah, Nau. Jangan gunakan kata-kata itu. Ingat pernikahan kita ini hanyalah kesalahpahaman."

***

Semua Tentara berdiri tegap dengan seragam dan senjata masing-masing. Hari ini mereka melanjutkan mencari Arief. Seorang mayor bernama Jiang Zhi memimpin pasukannya.

"Dengan bismillahirrahmanirrahim, pasukan bubar jalan!" Tukas Tentara berdarah China-Indonesia tersebut.

Para Tentara gagah tersebut berlari menuju dua helikopter yang telah disediakan. Jiang Zhi merupakan perwira menengah sebagai mayor, setelahnya disusul Arief perwira pertama sebagai kapten.

"50 meter lagi helikopter akan mendarat," ucap pengendara yang juga salah satu anggota TNI, dengan mikrofon.

"Hari ini kita akan turun di Loxur Salah satu kota di Mesir. Separuh dari kalian menunggu di helikopter! Saya tidak merasa lega jika helikopter ini tinggal ditengah-tengah hutan. Sementara yang turun gunakan jaket untuk menutupi senjata yang dibawa. Waspada terhadap orang asing. Mengerti?" Jiang Zhi berbicara sangat tegas.

"Siap, mengerti!" Separuh pasukan turun.

Mereka memang sengaja memasuki beberapa kota di negara Kairo tanpa izin, demi menjaga keselamatan Arief. Lima hari yang lalu seseorang menelpon dengan nomor Mesir, mengabarkan bahwa Arief telah meninggal namun penelpon tersebut tidak memberikan kejelasan secara detail bahkan tidak memberi tahu lokasi dirinya atau Arief. Hal tersebut membuat TNI merasa aneh, jadilah mereka berasumsi jika Arief masih hidup. Lantas lima hari itu pula para Tentara Indonesia mengelilingi beberapa negara. Mesir adalah negara ke dua setelah Sudan. Mereka bisa pastikan bahwa yang menelpon tersebut berasal dari negara belahan timur.

Salah seorang pasukan bertanya kepada penjual roti, mereka bercakap menggunakan alat pemersatu internasional, bahasa inggris. Keduanya tampak serius ketika prajurit menunjukan foto Arief. Si penjual menggelengkan kepala tanda tak mengenal. Setelah tiga jam berkeliling dan tidak mendapat seorang pun yang mengenal Arief, mereka memutuskan kembali ke titik kumpul.

"Melaporkan, Tidak ditemukan kapten Arief disekitaran Loxur!"

"Laporan diterima! Besok kita akan melanjutkan perjalanan ke Kairo!"

***

Rissa keluar dari kamar, duduk di sofa putihnya. Sudah tiga bulan ia lalui tanpa Arief. Satu-satunya alasan yang membuat dirinya sedih, murung, dan mengambil cuti mengajar. Berita tentang meninggalnya Arief tidak dipercayai Rissa, meski anggota keluarganya telah melakukan sholat ghaib untuk Arief, tapi tidaklah Rissa ingin melakukan itu. Ia sangat yakin bahwa Arief masih hidup.

Sekarang perempuan itu menangis sembari memeluk baju loreng milik Arief. "Rief, aku butuh kamu!" Isak tangis Rissa memenuhi ruangan.

Beberapa detik kemudian, handphone-nya berdering. Menandakan panggilan masuk. Rissa langsung menjawabnya.

"Assalamualaikum?"

"Ris, aku ada di depan rumah kamu!"

Ia sampai lupa melihat nama dari panggilan tersebut. Rissa menghembuskan nafas kesal seraya menghapus air matanya dengan kasar. Cepat-cepat ia langkahkan kaki keluar rumah. Lelaki yang bersandar di mobil tersebut, mendekat ke Rissa.

"Ini buat kamu, Ris, aku turut berduka cita ya!" Qausar memberi sebuket bunga besar.

Rissa semakin terpukul ketika ucapan itu terlontar kembali.

"Ambil! Aku gak mau terima, dan satu lagi Arief itu belum meninggal."

Qausar tertawa kecil. "Ris, kamu harus terima kenyataan. Ikhlasin!"

"Pergi!" ucap Rissa pelan namun penuh penekanan.

"Ris, aku minta maaf kal-"

"Aku bilang pergi!"

Qausar mengangguk. "Oke aku akan pergi. Kalo kamu butuh sesuatu, aku siap untuk direpotkan."

Rissa kembali meneteskan air mata dan berlari kecil ke dalam rumah.

***

Assalamualaikum, apa kabar semua? Maaf pake banget ya because updatenya lama. Aku lagi stuck heheh, kasih Mangat dong :)

Love in HalalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang