(13) Bukan Halusinasi

352 45 15
                                    

Kehadiranmu itu nyata, aku pikir delusi semata.

***

Pagi ini Rissa disibukkan dengan urusan kampus. Menjadi pembawa acara dalam seminar internasional yang mengundang pemateri dari negeri Jiran. Bukan sekali dua kali, Rissa selalu ditunjuk sebagai pembawa acara di setiap penyelenggaraan. Bahasa Indonesia nya yang fasih dan Inggrisnya yang mumpuni adalah alasan kenapa harus dirinya.

Dengan menarik napas lalu membuangnya perlahan, Rissa membuka acara. Ruangan yang awalnya riuh menjadi hening dan beralih fokus pada dosen muda nan cantik tersebut.

Kegiatan berjalan sebagaimana mestinya, seminar ditutup, para peserta meninggalkan ruangan dengan tertib. Seorang lelaki berjalan mendekati Rissa, dari kejauhan ia tersenyum.

"Ris, kita makan siang bareng yuk!" ajak Qausar.

"Maaf aku gak bisa, ada keperluan lain," tolak Rissa sembari meraih tasnya yang terletak di atas meja.

"Ris, ayolah!" Qausar membuntuti Rissa yang pergi meninggalkannya.

"Gak bisa, Sar." Rissa terus berjalan. "Fa, diajak Qausar makan," kata Rissa ketika berpapasan dengan temannya itu.

"Ha? Ayok!" Nifa langsung sumringah ketika menjawabnya. Sementara Rissa mempercepat langkahnya.

Diperjalanan pulang Rissa mampir ke salah satu restoran. Karena tuntutan pekerjaan ia tidak memiliki waktu untuk memasak. Seusai memarkirkan mobil, telepon genggamnya berdering. Rissa segera mengusap layar iPhone-nya dan mendengar suara pemilik nomor yang tak dikenal tersebut.

"Selamat siang. Dengan ibu Nabila Larissa?"

"Siang. Iya benar. Ini dengan siapa?"

"Kami dari korem 051 Saya Ricko bawahannya kapten Arief. Ibu diminta untuk datang ke kantor hari ini. Terimakasih, maaf mengganggu waktunya, Bu."

Rissa mengernyitkan dahi. Ada perlu apa dirinya dipanggil ke sana. Apakah ada hubungannya dengan Arief? Rissa memikirkan itu sembari membelokkan mobil keluar dari parkiran. Makan siangnya ia tunda.

Jantung perempuan itu berdegup kala memasuki tempat kerja suaminya. Entah apa yang membuatnya sedeg-degan itu.
Seorang lelaki berbaju loreng menghampiri Rissa dan mengantarnya ke dalam.

"Ada perlu apa saya di suruh kesini?" tanya Rissa.

"Nanti ibu Rissa lihat sendiri penjelasannya di dalam," jawab lelaki tadi.

Setiap langkahan kaki Rissa tidak terlepas memikirkan Arief. Belum juga sembuh, orang-orang di sana seolah membuat dukanya semakin besar. Pertama kali Rissa dibawa ke tempat ini, ketika meminta restu untuk menikah. Tidak pernah terpikirkan oleh Rissa akan datang kembali tanpa Arief. Benar saja perempuan itu belum sepenuhnya mengikhlaskan kepergian suaminya karena sampai saat ini Rissa dan keluarganya tidak pernah mendapatkan berita tentang jasad Arief.

Sesampainya di dalam, Rissa dikejutkan dengan satu sosok laki-laki memakai kaos putih pendek dan celana loreng, ia berdiri tepat dibawa lampu redup.

"Berhentilah Rissa! Itu hanya halusinasi," batinnya menganggap bahwa yang berdiri di sana hanya halusinasi semata. Mana mungkin Arief, ia sudah tiada.

"Aku terlalu memikirkannya saja," batin Rissa kembali bergumam.

"Ris..."

Namun, itu bukan halusinasi. Sosok itu tersenyum. Senyumnya mendeskripsikan segunung kerinduan. Dalam hitungan detik ia menghambur ke Rissa, perempuan itu terlalu kaget dan tiba-tiba saja hilang kesadaran.

Love in HalalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang