(4) Fi amanillah

4.2K 346 16
                                        

Kerelaan itu ibarat sebuah ketenangan.

***

Hujan yang mengguyur semalam membuat jalanan lembab serta udara dingin. Padahal dini hari masih agak gelap, matahari pun belum bangun di paginya, namun Ibu kota ini tak pernah lepas dilanda kemacetan. Sebuah mobil melaju dengan lambat dengan iringan musik sholawat.

Cuaca meramal hari ini akan cerah tapi tak secerah hati perempuan yang sedang menatap ke luar jendela tersebut. Semenjak beberapa hari lalu Arief mengatakan ingin bertugas ke Gaza, Rissa seperti tak rela melepaskan.

Sejak dua puluh menit di dalam mobil hanya ada hening yang terciptakan. Arief paham dengan tingkah istrinya yang sekarang, namun perempuan itu tak ingin jujur tentang perasaannya.

"Ris..." lirih Arief, namun matanya masih fokus pada jalanan.

Rissa telah terbawa ke alam bawah sadarnya hingga panggilan dari Arief pun tak menembus pendengaran dan pikirannya.

"Kamu beneran gak papa aku tinggalin?" tanya Arief masih dengan posisi awalnya yang tak kunjung dapat respon Rissa.

"Kayaknya aku gak jadi pergi," lanjut Arief yang membuat Rissa terbangun dari alam bawah sadarnya dan menoleh pada Arief.

"Beneran?" ada nada bahagia yang tidak dapat disembunyikan dalam kalimat itu.

Arief memberhentikan mobilnya namun tak mendadak. "Iya, kalo kamu masih belum ikhlas."

Helaan nafas terdengar dari bibir tipis Rissa, matanya kembali menatap ke arah luar jendela. Ia akan bahagia kalau Arief tidak jadi pergi namun tidak dengan alasan karena dirinya yang belum ikhlas.

"Look at me!" Arief mengambil tangan Rissa sembari memutari tubuhnya.

"Pernikahan itu tidak dilandasi oleh kebohongan dan ketutupan. Jangan gengsi untuk mengungkapkan yang sebenarnya!"
Arief mengatakannya sembari menyoroti dua manik mata Rissa. "Aku beneran gak akan pergi kalo kamu belum merelakan, kerelaan ibarat sebuah ketenangan. Jadi kalau istrinya saja tidak tenang bagaimana suami akan tenang bertugas di sana."

Rissa seakan terhipnotis oleh tatapan dan perkataan Arief. Mata dan mulutnya tak bisa bekerja dengan selayaknya, sebab jantung telah berdegup kencang.

Keringat dingin mengucur di pelipis Rissa, untung saja tertutup oleh hijabnya. Sudah 10 tahun ia mengenal lelaki dihadapannya ini, namun ada rasa yang tak biasa. Kesalah-tingkahan hari demi hari kian menjadi.

Benar kata Arief, ia harus jujur dalam melakoni rumah tangga ini. Namun, apalah daya gengsi terus saja membungkusinya. Disisi lain Rissa juga tak menginginkan Arief merasakan dilema seperti ini.

Akhirnya Rissa mengangguk, membuat Arief mengangkat satu alisnya. Rissa ingin sekali mengatakan sesuatu pada Arief, tapi bibirnya terasa berat, lidahnya keluh.

"Jangan bicara lewat hati!" sindiran manis lelaki itu kali ini menjadikan Rissa tak bisu.

Perempuan yang telah dihalalkannya sebulan yang lalu itu tersenyum kaku.

"Kita udah kenal kurang lebih 10 tahun, jadi tolong jangan buat aku canggung kayak gini." Arief paham apa yang dikatakan Rissa barusan.

"Kamu sendiri yang buat semuanya seperti asing kemudian menjadi canggung."

Dalam posisi yang masih berhadapan, Rissa lebih memilih menatap ke bawah.

"Ris..." panggil Arief lembut sangat lembut.

Sungguh, Rissa membenci suasana seperti ini. Ia sedih namun malu untuk mengatakan, ia sayang namun gengsi untuk mengutarakan, ia jatuh cinta namun tak sanggup menyatakan dan hal itu pun baru disadarinya.

Love in HalalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang