(5) 90 menit rasa rindu

4K 296 17
                                    

Rindu itu adalah alasan untuk dua hati yang tak bisa dipisahkan.

***

Siang itu matahari bersinar sangat terik, sinarnya tak terhalang oleh awan. Untung saja banyak pepohonan yang setidaknya bisa memberikan sedikit kesejukan. Rissa turun dari mobil agak mempercepat gerakannya menuju kelas. Bukan karena terlambat, tetapi karena sang surya begitu menyengat di kulitnya meski telah dilapisi baju berbahan cukup tebal, blazer.

Namun panasnya di dunia belum ada apa-apanya dibanding di neraka nanti. Belum ada yang dapat menceritakan langsung bagaimana kisah di sana. Maka jangan mengeluh terhadap apa pun yang terjadi.

Jarak dari parkiran ke gedung kelas tidak terlalu jauh. Rissa mendorong pintu gerbang yang elit tersebut. Perubahan cuaca langsung terasa olehnya, gedung tertutup full oleh ac. Perempuan itu sangat beruntung menjalani hari-hari dengan menyenangkan, mendapatkan pekerjaan yang layak dan suami yang baik.

Itulah penyebab ia tak mengeluh pada terik yang hanya sebentar singgah di kulitnya. Hal itu malah menambah dirinya untuk bersyukur, sebagaimana orang-orang di luar sana yang bekerja harus melawan dengan panas terik, hujan badai dan pulang pergi jalan kaki.

Para mahasiswa langsung terkesima setelah Rissa memasuki kelas dan mengucapkan salam. Apa yang membuat mereka terkesima? kecantikannya yang masih awet, ia dosen termuda di universitas ini.

Tampaknya Rissa baru memasuki kelas tersebut, karena jika sudah sering, tak mungkin para mahasiswa lelaki itu menatap tercengang sampai membuka setengah mulutnya.

"Saya Larissa Nabilah. Mulai hari ini saya akan menggantikan ibu Wiwit," jelasnya, dan benar saja Rissa baru memasuki kelas tersebut.

Semua mahasiswa mengangguk mengerti, mengingat perihal dosen yang dipanggil ibu Wiwit itu akan mengakhiri masa lajangnya dan akan mengikuti sang suami ke Sulawesi.

"Saya rasa perkenalan ini cukup?" lanjut Rissa yang langsung disambut tunjukan tangan oleh salah satu mahasiswa berambut gondrong.

"Iya kenapa?"

"Kami manggilnya ibu atau apa?" tanya lelaki itu begitu konyol, ia berharap bisa memanggil dengan sebutan tidak begitu formal.

"Ya ibu lah!" sungut seorang perempuan berkacamata bulat dengan hijab tak senada dengan bajunya. Mirip-mirip orang jenius yang tidak tertarik pada urusan fashionable.

"Kalo di dalam kelas panggil saya ibu saja, jika diluar silahkan yang lain asal masih dalam konteks wajar dan sopan." Rissa terdengar bijaksana, berbanding terbalik jika sedang berhadapan dengan Arief. Terlihat cerewet, ingin menang sendiri kadang juga manja.

Mahasiswa tadi tersenyum konyol bercampur bahagia. Harapannya tak putus untuk memanggil Rissa dengan sebutan lain. "Kalo sweetty gimana, Buk?"

Spontan teman-teman kelasnya langsung menyoraki dan Rissa langsung menenangkan. Benar-benar remaja kadaluwarsa kurang perhatian, desis Rissa dalam benaknya.

***

Rissa membolak-balik menu di handphone-nya, menunggu notif dari orang terkasih. Ini hari ketiga sejak keberangkatan Arief menjalankan tugasnya. Baru tiga hari, Rissa merasa seperti tiga bulan ataupun tiga tahun. Ia gundah Karena rindu yang menggebu itu perlu terbalaskan. Akhirnya hatinya pun mengakui bahwa dirinya telah kehilangan separuh dari jiwanya bila suaminya itu tak ada disisi.

"Enggak makan, Ris?" suara Nifa membuat Rissa menoleh kemudian menggeleng. Perempuan yang membawa sepiring gado-gado itu merupakan teman kerja Rissa.

Love in HalalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang