prolog

138 48 36
                                    

Something extraordinary starts with the ordinary
-Patency.

🕊

Hanya terdengar suara gesekan antara pensil dan kertas diruangan itu. samar, terdengar sorakan banyak siswa diluar. Tanpa ditoleh pun, gadis itu tahu mereka sedang menonton pertandingan basket.

Gadis itu duduk sendiri di kelas, dengan buku setebal 3 cm. Melirik arlojinya, segera gadis itu membereskan peralatannya, mengeluarkan sebotol air mineral, tidak lupa juga handuk kecil.

Pertandingan selesai tepat saat kakinya berhenti dipinggir lapangan. Tanpa dipanggil, lelaki dengan nomor punggung 01 itu menghampiri dirinya. Tubuh jangkungnya begitu ketara. Peluh membanjiri tubuhnya, sesekali dia mengibaskan baju nya, menampilkan dengan samar roti sobek yang sukses membuat para siswi disana memfokuskan pandangan pada satu objek.

"Perfect point." Ucap gadis itu saat melihat angka yang ada dipapan.

Lelaki itu mengambil air juga handuk kecil tadi, membasuh wajahnya sedikit dengan air, lalu meneguknya hingga tandas.

"Ra, Lo bisa pulang sendiri?" Tanya lelaki itu saat keduanya sudah duduk tidak jauh dari tim basket.

Adara menoleh pada Arby. "Bisa."

"Gue ada urusan."

"Jangan pulang larut Ar." Adara menjeda ucapannya, gadis itu merogoh tas nya, mengeluarkan sebuah buku tulis.

"Rangkuman materi besok. Sisanya, cuma logika."

Arby menerimanya. Lelaki itu mengangguk sekilas. "Thanks."

Tidak mau membuang waktu terlalu lama, Adara berdiri, membersihkan rok nya. "Gue duluan."

Adara berlalu. Tanpa rasa apapun, tanpa kecewa apapun. Seperti biasa, tidak ada yang spesial dalam hubungannya dengan Arby. Hubungan aneh diatas kontrak.

Hiruk pikuk jalanan menambah bising di kepala, matahari tidak seterik tadi siang, semburat jingga sudah muncul dari tepian barat. Adara selalu suka, duduk di pinggir jendela, mengamati langit dan yang ada di bawah langit. Luas, dan ikhlas.

Bus berhenti, tujuan Adara bukanlah rumah, melainkan tempat kerja. Sebuah bangunan klasik berdiri kokoh di perempatan jalan.

Disini tempat Adara mencari uang, untuk menghidupi dirinya sendiri dan ibunya. Adara mengganti pakaiannya, rambutnya diikat lebih rapih. Siap.

"Meja nomor lima." Adara mengangguk, mengulas senyum cantiknya, mengantarkan pesanan itu dengan ramah.

Terkadang, Adara juga ingin, pulang sekolah langsung ke rumah, menikmati masakan rumah. Tapi sayang, tidak semua yang ada harus karena keinginan.

Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat gadis berseragam SMA itu berjalan dengan gontai di trotoar. Tidak ada juga angkutan umum di jam segini. Ya, sekarang mungkin disebut hoki, karena tidak ada laki-laki mabuk atau preman bobrok yang mengganggunya.

Hembusan angin malam menusuk ke tulang Adara, rasa-rasanya sejuk saat bersentuhan dengan peluh. Belum sampai lampu merah, seseorang menghentikan motornya. Tanpa membuka helm, Adara cukup hafal pemilik motor ninja berwarna hitam itu.

"Naik." Itu suara Arby. Tubuh lelah Adara tidak bisa menolaknya. Jika kalian pikir, hubungan keduanya apa? Hubungan mereka adalah pacaran.

Tapi kenapa seolah tidak peduli? Karena ada sesuatu yang lebih berarti untuk mereka dari pada sekedar kata 'peduli.'

Untuk sekarang, biarlah seperti ini.

"Makasih."

TBC
Enjoy it!
🖤

PatencyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang