- Patency
🕊️
"Lo tahu, gue selalu punya mimpi yang luas" Adara menunjuk langit yang terlihat cerah saat itu. Arby mengikuti arah tunjukkan.
"Seperti langit, luas dan ikhlas."
Arby menunggu kelanjutan dari Adara. "Tapi gue cuma manusia, kadang kala gue terlalu luas menyelami dunia, dan sukar untuk ikhlas ketika gue sadar, gue salah melangkah."
"Lo punya mimpi, Ar?" Tanya Adara. Arby meneguk minumannya, lalu mengangguk.
"Punya." Jedanya. "Harus gue cerita?"
"Menurut Lo?"
"Gue punya mimpi, gue tergila gila sama pesawat, gue suka lihat benda itu terbang bebas di atas sana. Dulu, gue pengen jadi pilot." Arby tersenyum tipis menatap langit.
Adara mengernyit saat mendengar kata yang janggal. "Dulu?"
"Ya, sebelum gue membenci benda itu. Gue benci benda itu karena dia yang bawa bokap nyokap gue sering terbang jauh, ninggalin anak kecil yang saat itu butuh diajari."
"Dan sekarang?"
"Sekarang? Impian gue, cukup gue dan Tuhan yang tahu."
Dan sekarang, satu hal lagi yang harus Adara catat dalam deskripsi Arby. "Gue harus ke ruang olimpiade, thanks." Adara bangkit dan membersihkan rok nya. "Kalau udah baikan, ke kelas sana, jangan keseringan bolos Ar."
Tidak ada jawaban dari Arby. Adara memaklumi. "Gue duluan."
🕊️
Singapore, 12 pm.
Peluh membanjiri dahi lelaki itu, nafasnya tidak teratur, tubuhnya bergerak dengan gelisah saat kilasan itu muncul lagi. Matanya tertutup rapat namun seolah dia sedang menyaksikan suatu kejadian. Ada cahaya aneh yang merasuki pengelihatannya, semakin terang membuatnya semakin gelap.
"ADRIAN!" Adi terkejut mendapati Adrian yang kini kesakitan, lelaki itu beberapa kali menepuk pipi Adrian, berharap Andrian segera sadar.
"ADRI!" Adrian terbangun dengan posisi duduk, nafasnya tidak teratur, masih shock, sampai tanpa sadar air mata itu keluar.
Adi mengambilkan air untuk Adrian, membantu Adrian untuk menetralkan nafasnya.
Setelah dirasa cukup tenang, Adrian mengusap wajahnya gusar. Ternyata ia tertidur di sofa ruang kerja.
"Sudah enakan?"
Adrian mengangguk. "muncul lagi, pa."
"Jangan dipaksa Rian, nanti malah pikiran yang membunuh kamu." Nasihat Adi. Lelaki berumur lima puluh tahunan itu menyandar pada sofa. Memilih Adrian sebagai CEO muda memang bukanlah hal yang diragukan, namun Adi hanya khawatir kesehatan Adrian mengingat anak nya ini punya masalah ingatan yang kurang baik.
Adrian meraih telfonnya, lalu menaruh benda itu di telinganya. "Ke ruangan saya sekarang."
Tidak lama, seorang lelaki dengan kemeja biru laut nya mengetuk pintu, setelah dipersilahkan masuk, lelaki itu menunduk sebentar pada Adi maupun Adrian.
"Iya pak? Ada apa?"
"Duduk." Perintah Adi. Lelaki bernama Irsyad itu menurut.
"Apa jadwal saya setelah jam makan siang?" Tanya Adrian.
"Jam dua bapak ada pertemuan dengan Dewan direksi, lalu jam tiga ada meeting bersama Tuan Ayash, dan sehabis Ashar ada janji dengan Tuan Matthew di Vianney Massot. Setelahnya, bapak free."
KAMU SEDANG MEMBACA
Patency
Teen FictionAdara dan Arby, dua orang yang terjebak dalam status pacar karena sebuah insiden. Yang awalnya dikira biasa saja, tapi lama-kelamaan menjadi tidak biasa. Dibumbui oleh banyak cerita, yang akhirnya menguak tanpa celah. Mau dianggap tiada, namun nyata...