part 10 - It change

31 9 18
                                        

Kota memang tidak berubah, orang orang datang dan pergi seiring waktu

- Patency

🕊️

Matahari tidak seterik biasanya, awan juga sudah mendung, sama seperti raut wajah Ningsih saat Adara bilang ingin menunggui Tamara selesai sidang.

Bell pulang sudah berbunyi sejak satu menit yang lalu. Dengan mantap, Adara melangkahkan kakinya menuju ruang kepala sekolah. Jika saja Ningsih mau diajak, sudah pasti Adara tidak akan berjalan sendirian sekarang.

Belum sampai ruang kepala sekolah, seseorang menarik Adara hingga Adara nyaris limbung kalau saja tidak memegang lengan lelaki itu.

"Arby!"

"Ga usah ikut campur terlalu dalam." Ucap Arby sepenuhnya yakin tanpa nada ragu sedikitpun.

Dibelakang Arby ada Raka, Galang dan Hilman. Adara menjaga jarak, Adara menggeleng, bagaimana jika Tamara membutuhkan saksi mata? Tidak mungkin kan, Adara hanya diam?

"Biarin gue nungguin Tamara."

"Jangan Ra."

"Lo kenapa sih?" Arby juga tidak tahu mengapa dia melarang Adara. Dan yang Arby tahu, sekarang Adara tetap melanjutkan langkahnya.

"Dah lah, ikut aja dulu, sapa tahu dapat berita trending, kan?" Galang menaik turunkan alisnya, lalu berjalan mendahului teman temannya.

"Eh! Gue ikut woi!" Hilman menyusul. Tinggal Raka dan Arby.

Raka meninju bahu Arby dengan pelan. "Plin-plan! Buruan." Dan begitu, Raka meninggalkan Arby.

Kelima siswa itu hanya menunggu didepan ruang kepala sekolah sekarang. Banyak yang memerhatikan dari jauh, ada yang menduga sesuatu hal buruk mungkin terjadi.

Sedangkan di dalam ruangan itu, Tamara merasa AC di ruangan ini mati. Kepalanya mendidih sedari tadi, dia hanya bisa membiarkan Karina berbicara sesukanya dulu sekarang.

"Mana mungkin saya ngelakuin ini tanpa alasan pak! Dia yang salah duluan! Kalo bapak ga percaya, tanya aja sama mereka"

Semua siswa yang terlibat insiden perpustakaan hari itu, dikumpulkan. Ada pak Juminto, Bu Ine, dan Pranata disana. Orang tua mereka tidak ada yang datang karena ; untuk apa membela anak mereka dihadapan pranata sekarang. Ya, mendiskriminasi diri sendiri.

"Benar, Cherry?" Tanya pak Juminto. Bu Ine memijat kepalanya, apalagi Cherry, anak itu terkenal pintar, kenapa sekarang jadi bad genius. (?)

"I-iya pak... Sa-saya kesal dengan kak Ta-mara, di-dia ngebentak sa-ya karena ga seng-aja numpahin ku-kuah.."

Karina tersenyum miring sambil menatap Tamara, smiriknya muncul, seolah berkata ' u're lost Tamara '

"Lalu, kamu?" Pak Juminto bertanya pada Farrel.

"Dia hajar saya cuma karena saya ga sengaja pegang pipi dia pak, tangan saya hampir dipatahin sama dia."

"Saya juga pak, saya merasa dipermalukan di tempat umum, di kantin lebih tepatnya."

"Saya benci dia, karena dia emosional."

Pranata mengepalkan tangannya kuat, namun ia sama seperti Tamara, masih bungkam. Menunggu unek-unek apalagi yang akan dikeluarkan oleh tikus tikus ini.

"Sudah! Sudah." Pak Juminto melerai.

"Tamara, ada pembelaan dari kamu?"

Tamara mengangguk. "Pertama, saya tidak akan marah, memukul, atau mempermalukan jika tidak ada yang mengusik saya. Kedua.." Tamara mengangkat sebuah flashdisk. Lalu menatap Bu Ine. "Boleh saya pinjam laptop nya, Bu?"

PatencyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang