part 4 - unexpected

69 35 18
                                    

Pengecut, terkurung dalam ruang delusi kita sendiri.

- Patency

🕊️

Pagi ini tidak ada yang berbeda, kegiatannya tetap sama. Namun, yang berbeda adalah, sepanjang kooridor, Adara dan Ningsih mendengarkan kicauan siswa tentang seseorang, yang katanya murid baru. Bukankah bagus ada murid baru ke SMA favorit ini? Lalu, apa masalahnya?

" Wah iya, serius itu dia? Yang waktu itu terjerat kasus narkoba? "

"Ah? Lo serius?"

"Kok bisa masuk sini?"

"Katanya, bokap dia koneksinya kuat, WiFi rumah Lo juga kalah."

"Eh buset?! Sekata-kata Lo"

"Tapi yang gue tahu nih, dia itu tempramental, 11 12 sama Arby."

"Gila, enak bener punya catatan kriminal tapi masih di terima di sini, ga adil."

"Lah iya, gue dulu tes SMA ini sampe nangis nangis takut ga diterima, belajar sampe kepala botak."

"Ga gitu juga."

"Eh tadi dia keruangan kepsek, kan?"

"Iya, semoga ga ke kelas kita.."

"Aamiin ."

"Pada ngomongin siapa sih Ning?" Bisik Adara pada Ningsih.

Ningsih menghendikkan bahunya. "Menurut informasi yang gue terima, ada murid pindahan dari SMA Padmara, katanya dia ini sering pindah sekolah, terjerat kasus lah, dan orangnya tempramental."

"Hem? Siapa yah?"

"Entah, semoga ga masuk kelas kita."

🕊️

Suara ketukan fantopel menghentikan kegiatan mengobrol kelas itu, menimbulkan sunyi saat lelaki dengan perut buncit memasuki kelas XII IPA 1, diikuti seorang siswi di belakangnya.

"Assalammualaikum warahmatullahi wabarokhatu"

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarokhatu"

Adara dan Ningsih langsung membeku di kursi mereka saat tahu siapa yang disebut murid baru itu. Ada sirat rindu, juga terkejut dari keduanya. Adara maupun Ningsih tidak amnesia untuk mengingat siapa yang kini menatap mereka dengan pandangan tajam itu.

"Baik, anak-anak kelas XII IPA 1, kalian mendapat teman baru hari ini, bapak harap kalian terima dan bantu dia beradaptasi dengan sekolah ini yah." Pak Juminto beralih menatap siswi baru itu.

"Nak, perkenalkan dirimu."

Gadis dengan kain hitam diikat dilengan kirinya itu maju satu langkah. Tatapannya dingin, tidak ada kata 'ramah' untuk deskripsinya.

"Gue Tamara Silqa Utama. Dari SMA Padmara."

Jika biasanya akan ada sahutan para kaum Adam, kali ini tidak ada. Semuanya memilih bungkam, ada ragam tatapan tertuju pada Tamara. Benci, bingung, juga segan.

"Tamara, silahkan duduk di kursi yang kosong. Bapak tinggal yah."

Selepas kepergian pak Juminto, Tamara duduk di belakang, meletakkan kepalanya di atas meja, lalu memejamkan mata. Seisi kelas terdengar berbisik-bisik.

PatencyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang