01

43 11 102
                                    

Sekeras apapun Feiro memaksa ingatannya untuk kembali, itu tidak akan terjadi. Tidak untuk sekarang. Itu hanya akan membuat kepalanya seperti dilempar sekarung pasir.

Alkei, telah mengantar Feiro ke rumah jaga. Ukurannya lebih besar daripada rumah rumah penduduk. Lebih banyak lorong tentunya dengan kamar di sisi kanan dan kiri. Dan sebuah ruangan yang Feiro yalin adalah dapur (ia sekilas melihat ke dalam dari balik jendela). Alkei menunjuk salah satu ruangan di sana, "Kamarmu. Dan aku tidak akan ada disebelah saat kau membutuhkanku." Alkei menepuk punggung Feiro yang memandang kamarnya aneh, lalu pergi begitu saja.

Hanya diterangi dengan dua obor dan satu lilin di jendela, ruangan ini tidak terlalu buruk. Sebuah meja kecil berada di sebelah tempat tidur batu dan jerami. Tak bisa dipercayai kamar ini begitu rapi, sedangkan ingatan palsunya mengatakan bahwa Feiro hanya akan membuat semua orang kesusahan gara gara tidak mau membuang sampah.

Feiro mendekatkan pedang ke lilin di jendela. Pegangan pedang itu berkilauan tertimpa cahaya kuning dari lilin. Sulit baginya untuk yakin, bahwa dia pernah menggunakan senjata seindah itu.

Feiro berhenti, menahan napas supaya mampu mendengar dengan lebih jelas. Seseorang sedang berjalan ke arahnya. Tetapi begitu lambat, dan suaranya sangat redam. Feiro membalik, dan Telstar sudah mengangkat pedang tinggi tinggi, yang sudah dapat menebas kepala Feiro, kalau saja dia tidak cepat menangkis. Senjata Telstar langsung lepas dari genggaman lantas Feiro langsung mengunci tangan rekannya itu.

"Apa maumu?" kata Feiro dengan nada rendah namun mengancam.

"Oke, oke aku menyerah," ujar Telstar seakan akan tidak terjadi apa apa.

"Ternyata insting bertarungmu masih ada ya, hebat juga," lanjutnya.

"Apa maumu?" kata Feiro lagi.

"Ayolah, aku hanya mengetesmu."

"Kau gila ya? itu namanya membunuh, MEMBUNUH."

"Baiklah, aku minta maaf. Dan sekerang cepat keluar," ujar Telstar tak lebih bersalah dari sebelumnya. Feiro kembali dibuat keheranan, dia baru saja sampai dan sudah disuruh keluar lagi.

"Sekarang bulan purnama, ada festival yang semua orang harus menghadirinya."

"Kau duluan saja," ucap Feiro.

"Tak bisa ku biarkan. Kau hanya mengatakan 'Akan pergi nanti' tetapi kau tidak akan pernah pergi." Feiro membuang muka, membaringkan tubuhnya di tempat tidur sambil melipat tangan agar matanya tidak kelihatan.

"Kepalaku pusing. Jika aku tidak adapun, festival masih dapat berlanjut." Ingin rasanya Feiro melempar perempuan ini saja.

"Terserah dirimu, tapi jangan salahkan orang lain bila mulai besok kau tidak mendapat jatah makan, toilet, dan mungkin Alkei akan menguncimu di sini. Jangan lupaka-" perkataannya terpotong oleh Feiro yang bangkit, dan berjalan mendahului, sangat muak mendengar celotehan orang orang sekarang.

"Katakan kemana kita harus pergi."

***

Lahan di dekat jurang yang landai sudah dipenuhi oleh banyak orang. Mereka mengitari api unggun dengan tingginya mencapai lima kaki. Feiro duduk bergabung disebelah Alkei, sambil mengukir anak panah.

"Perempuan gila," seru Feiro melirik Telstar.

"Kau sudah kuperingati sejak awal." Feiro dan Alkei saling bertukar pandang.

NolanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang