09

6 5 2
                                    

Feiro harus kembali menghabiskan malam bukan di kamarnya. Dia merasa beruntung akan Telstar yang dapat membuat berbagai alasan agar tidak ada orang di pondok rawat. Alkei selalu mengeluh karena tidak ingin mengahabiskan waktu favoritnya. Sesekali ia menguap dan menyender pada rak buku di perpustakaan. Sementara Telstar mencari cari sesuatu di sela sela banyaknya buku di sana.

"Sadarlah, Bung," kata Feiro menertawakan temannya.

"Aku dari tadi sudah sadar. Dan saat waktu untuk itu habis, kalian datang membangunkanku dengan sadisnya. Bagaimana kalian dapat mengatakan aku tidak sadar, bahkan aku pun tidak punya waktu untuk tidak sadar," balas pemanah itu penuh rengekan.

"Fokusmu bahkan berkurang walau hanya untuk mengeja kata 'sempurna'," sahut Telstar menghentikan kegiatannya beberapa menit.

"A-L-K-E-I."

Feiro tersenyum masam mendengar perkataan temannya itu. Telstar memutar bola matanya malas berharap akan ada kantung muntah.

"Kurasa Ridto memasukan sesuatu ke makananmu tadi," seru Feiro dan mendapat beberapa pukulan pada lengannya.

"Jika aku jatuh karena Feiro tidak memegang tangga dengan benar, akan kupastikan akan ada kabar mengenai dua penjaga yang menghilang."

Sontak Feiro tak bisa lagi bergeming. Laba laba di hidungnya pun ia biarkan. Apalagi Alkei yang langsung berdiri tegap menelan ludah.

"Dapat," seru Telstar menarik buku setebal bendul keluar. Sedikit kesusahan memang, hampir semua buku dijejal tanpa adanya ruang dengan rapi. Akhirnya Feiro akan tahu apa yang membuat perempuan itu begitu bersemangat.

"Kau ingin kita mebaca buku setebal itu semalaman?" ujar Alkei tak percaya.
"
Ku harap kau mau melakukannya," jawab Feiro berusaha mengerjai.

"Telstar bisakah kau memukulku sampai pingsan?" Gelak tawa keluar dari mulut Feiro. Ternyata fokus Alkei benar benar menghilang. Kapan lagi bisa membuat orang memasang wajah seperti melihat malaikat maut.

"Andai aku membaca buku ini kemarin saja," seru Telstar membuka halaman pertama buku yang berjudul 'Perjalanan Para Pengelana' tersebut di lantai. Kalimat 'Untuk Para Penerus demi Crassfard— dari atas kapal' berada di bawah judul.

"Aw..." ucap mereka bersamaan tatkala menyedari keadaan buku yang sudah begitu tua. Dia bisa merusak semua halaman hanya dengan dua jari. Telstar terus membuka lembar demi lembar. Membaca setiap bab sampai menemukan halaman yang mengatakan mengenai Regrafa.

"Regrafa bukanlah seseorang yang hidup abadi. Dia hanya meneruskan jiwanya pada tubuh buatannya. Melalui berbagai upacara, sebongkah batu besar ia haluskan, dan ia bakar. Membentuk banyaknya bala tentara." Feiro tercengang atas apa yang ia dengar dari Telstar. Mereka sama sekali tak berkutik, dan berusaha menelan semua apa yang di dapat dari catatan para pendahulu penduduk Crassfard.

"Jadi, selama ini legenda itu benar, pasukan Regrafa...?" monolog Alkei.

"Coba kulihat. Tadi, di halaman depan..." ujar Feiro membuka halaman buku tersebut sangat berhati hati. Perasaan takut sedikit muncul akan rapuhnya catatan tua ini. Dia tidak bisa beralih ke lembar berikutnya dengan mengangkat satu sisi ujung buku, bila Feiro masih ingin menyelamatkan benda tua itu.

'Alasan Regrafa,' kalimat itulah yang dicari Feiro. Satu inci adalah jarak yang laki laki itu berikan pada buku di hadapannya. Hanya agar bisa membaca tulisan yang mulai pudar itu.

"Regrafa mempunyai dendam pada pendiri Desa Crassfard, mengenai pembagian daerah kekuasaan. Mereka merupakan saudara dari ibu yang berbeda. Walaupun Desa Crassfard telah ia dapat kuasai, namun dendamnya masih terus ada. Kami hanya bisa melihat daerah itu dari lautan ini. Entahlah apakah daerah tersebut akan dijadikan markas besarnya atau dibiarkan begitu saja."

NolanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang