Tibalah mereka di hutan hanya dalam waktu dua puluh menitan. Kini, Telstar yang memimpin, ia lebih tahu sekiranya tempat tumbuhnya tanaman rakta. Tentu berdasarkan informasi yang tabib berikan. Alkei sesekali menghentakkan tubuhnya, berusaha membetulkan posisi tas yang kadang merosot ke bawah.
"Aku tidak menyangka hutan akan sebagus ini saat siang hari," kata Feiro menatap ke atas. Daun menari nari di atasnya, membuat cahaya matahari yang menembus ikut bergerak gerak menyilaukan mata. Feiro terdiam, merasakan sejuknya suasan hutan walau tanpa hembusan angin seperti di pantai.
"Kalau begitu, setelah kakimu sembuh sebaiknya kita menjadwalkan perjalanan ke sini," balas Alkei menyalip Feiro. Tangannya berada di pundak, sedikit mengangkat tali tas yang tentu sangat berat itu.
Telstar berjalan di depan seraya mengibaskan semak dan rumput menggunakan sebatang kayu, berusaha membuat jalan. Ia tidak ingin kejadian seperti dulu terjadi lagi. Saat kakinya tergelincir masuk ke lubang. Sungguh tidak nyaman berjalan menggunakan sepatu dengan lumpur yang masuk.
"Kau yakin ini jalan yang benar?" tanya Alkei ragu. Napasnya memburu pendek-pendek.
"Aku berani bertaruh. Tunggu sampai kita menemukan daerah yang lumayan lembab, dan silahkan mengangkat ngangkat dahan kayu sepuasnya. Anggap saja latihan otot." Telstar berbicara dengan sombongnya. Seakan akan ialah pencipta hutan ini. Sampai lubang tikus dapat ia temukan dalam waktu beberapa detik.
Alkei menatap Feiro yang hanya bisa mengangkat bahu. Lantas kembali mendengus seraya menaikan alis.
"Tapi sekarang masih siang. Jelas keadaan hutan kering seperti ini. Kapan kita bisa berhenti?" Telstar berbalik begitu mendengar keluhan Alkei. Tongkat kayunya di depan, dengan gaya ia memajukan satu kaki, dan satu tangan berkacak pinggang.
"Tabib mencarinya saat matahari lebih menyengat dari ini. Sekarang sudah hampir sore, Alkei. Kau diam saja, aku sudah membaca paling tidak dua buku mengenai tanaman rakta. Pohon besar kembar, dan berbelok sampai satu bangkai pohon kering. Berbelok kiri dan kubangan lumpur muncul. Terus berjalan setidaknya sampai kau merasakan tanah becek dan rerumputan basah." Telstar memejamkan mata seolah mengingat apa yang tabib jelaskan padanya di akhir perkataan.
Feiro mengangguk tanpa peduli ke arah mana mereka berjalan. Mendengar ocehan Telstar hanya membuat perjalanan mereka terdengar semakin jauh. Beruntungnya ia bisa menikmati suasana hutan, ditambah nyanyian burung. Ia juga tidak perlu membawa tas seperti Alkei. Yangmana isinya jauh lebih ringan daripada sepasang tali tambang.
Setidaknya, dua jam lebih mereka masih berjalan, tapi belum menemukan bangkai pohon kering yang di maksud. Feiro bahkan menggunakan kompasnya agar masih tetap dapat berjalan lurus. Alkei kembali menggerutu setelah dapat tenang karena sudah melewati pohon kembar.
"Kalian tidak berpikir, kita berjalan lurus. Tapi bagaimana bila tabib tidak melakulan hal yang sama?" Telstar menggeleng, tapi tidak peduli ucapan Alkei. Feiro mengambil alih, ia menyembunyikan kompasnya dahulu ke balik rompi sebelum menimpali Alkei.
"Tabib tidak akan sebodoh itu sampai tidak menggunakan kompas di sakunya yang kecil. Barang apapun tidak akan dapat masuk sepenuhnya ke dalam."
"Aku manusia biasa. Wajar kalau lupa," cicit Alkei menendang sebuah kerikil. Tasnya lagi lagi merosot, dan penjaga itu menghentakkan tubuh.
Feiro ingin menawarkan diri untuk mengambil alih tas itu, tapi tidak perlu dipertanyakan, pasti Alkei menolak lagi untuk yang ke-enam kalinya.
Telstar merentangkan tangan, menyuruh berhenti tatkala terdengar gemerincing dari balik semak tinggi. Feiro melirik, ia maju selangkah ke arah semak di sampingnya. Bunyi itu hilang, seperti pembuatnya menyadari keberadaan mereka telah diketahui.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nolan
Fantasy!!! PERHATIAN !!! Cerita Nolan ini dipub ulang karena cerita sebelumnya tidak sengaja dihapus😔(yang saya kira itu tugas sekolah saya) dan mungkin saya akan ada perbedaan karena cerita ini saya ambil dari salinannya yang belum direvisi. ===========...