12

6 4 0
                                    

Beruntung bagi Feiro mengetahui satu nelayan tidak bekerja hari itu. Sejumlah keping uang emas mereka berikan untuk dititipkan pada pemilik perahu yang akan mereka sewa. Terlihat jelas bagaimana para lelaki tua itu ragu ragu memberikan ijin atas perahu yang bukan milik mereka. Alkei terus terusan memohon sampai orang orang di depannya sedikit muak.

Suara sorakan Telstar dari atas perahu membuat dua penjaga harus menutup telinga dengan bersusah payah, tanpa melepas dayung.

"Jika kau terus berteriak seperti ini, orang orang akan mencurigai kita tengah menculikmu," kata Alkei duduk di tengah.

Sedari tadi penjaga tersebut tidak bisa diam menghadap ke depan. Dia butuh udara tanpa penghalang seperti Telstar. Tidak terlalu kuat menghirup aroma amis dari dua bangkai ikan yang barangkali ketinggalan.

"Ayolah... siapa yang akan mendengarnya? Ingat, kita tengah berada di tengah lautan...." Telstar kembali bersorak. Feiro mulai terbiasa akan gelegar suara tersebut.

Rasa kantuk tiga orang penjaga tersebut langsung sirna. Mereka menjadi semakin bersemangat mendayung ditemani ribuan bintang yang menghiasi langit. Alkei tidak sepeduli Feiro ataupun Telstar yang sampai termenung melihat ke atas. Dirinya hanya menginginkan bertukar tempat dengan Telstar di depan agar tidak mencium aroma amis perahu. Feiro yang menyadari kerisihan Alkei hanya bisa menahan tawa.

"Apa kau sudah memperhatikan rute kita, Feiro?" tanya Telstar membuat Feiro gelagapan. Dengan cepat ia beralih menarik kompas yang bersembunyi di balik rompi tebalnya. Hembusan napas lega keluar tatkala mengetahui mereka berlayar tidak keluar jalur yang ditetapkan.

"Kita... kita... ya... berlayar dengan benar." Telstar tidak mempedulikan kegagapan Feiro tersebut. Apalagi Alkei yang terus terus mendengus kesal tidak tahan terhadap hidungnya yang sedang terganggu.

"Ngomong ngomong, dimana kau menaruh buku tadi," tanya Feiro kembali pada dayungnya.

"Aku sembunyikan itu di samping undakan. Terkubur pasir agar tidak ada yang melihatnya."

Feiro tidak menyangka perjalanan akan menjadi sepanjang ini. Sesekali mereka bertukar tugas. Dua orang mendayung, dan satunya lagi mendapat kesempatan beristirahat. Mereka tidak ingin kehilangan tenaga begitu sampai di tempat tujuan. Lagipula, tiga orang itu sudah tidak tahan untuk menahan kepala yang terasa semakin memberat.

"Oh, wow!" seru Alkei melihat sebuah pulau dari kejauhan.

Feiro yang baru saja bangun sedikit terkejut karena mendapati hari tidak lagi gelap. Pemuda itu mengerjap sebentar, berusaha menangkap cahaya. Dia tak kalah terkejutnya dengan Alkei.

"Kita hampir sampai," kata Telstar tidak tahu apa yang harus diucapkan pertama kali.

Feiro sedikit kesulitan mengumpulkan tenaga sehabis bangun dari sebuah mimpi indah. Terus memaksa agar tanaganya dapat mendayung sekuat mungkin. Semakin mendekat, suara beberapa burung camar semakin terdengar. Mereka sudah tidak sabar lagi menginjakan kaki di pulau tempat para leluhur mereka lahir. Terutama Alkei, dari awal harus menahan diri agar tidak muntah di tengah tengah lautan. Detak jantung dari masing masing penjaga semakin meningkat. Entah perasaan apa yang muncul saat itu.

"Aku rasa Gaza akan mengamuk karena tiga orang penjaga tidak hadir dalam latihan," cicit Telstar tidak tenang. Sementara Feiro di belakang masih harus mendorong perahu ke tepian sendiri. Alkei langsung berlari ketika dapat dipastikan kakinya sudah dapat berpijak, mencari tempat untuk memuntahkan isi perutnya. Bau ikan busuk merupakan salah satu hal yang dibencinya mulai sekarang.

"Kita semalaman bersama para nelayan, karena mereka takut pasukan Regrafa akan menyerang nantinya. Kurasa itu alasan yang cukup bisa diterima," ucap Feiro berdiri di samping Telstar melipat tangan.

NolanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang