16

4 4 0
                                    

Dari balik semak di samping sungai, Feiro melempar lemparkan kerikil ke dalam air sembari matanya menjelajah liar. Jam telah berganti, membuat cahaya matahari tidak terlalu menyengat. Namun seorang pemuda desa yang ia tunggu tunggu masih belum datang juga. Terbesit sebuah ide untuk menangkap ikan sebelum Arzo datang, tapi tidak mungkin ia akan menemui laki-laki tersebut dalam keadaan basah kuyup, sangat konyol.

Memang sebaiknya Feiro menentukan waktu menggunakan jam nelayan saja tadi siang.
"Huft...." Feiro membaringkan tubuhnya di hamparan rerumputan hijau yang terasa menusuk nusuk. Ia menghadap ke kanan dan ke kiri, begitu jauhnya tempat tersebut membuat suara ramai permukiman seperti sekedar suara lalat saat siang hari.

Feiro kembali melihat ke kiri, ke jalan menuju permukiman atau tempat pemimpin. Tidak ada satupun orang yang lewat. Penjaga tersebut lantas memalingkan wajah ke arah sebaliknya.

"Lumayan juga untuk mengagetkan orang," monolong Feiro begitu melihat Arzo tidak bisa diam di bawah pohon. Langkah Feiro terpogoh-pogoh tapi pasti. Ia sedikit kesulitkan untuk menarik pedang sementara tangan kanannya menahan berat tubuh bersama dengan sebuah tongkat.

Saat Arzo berbalik, sebuah ujung pedang sudah mengacung di lehernya, dengan sebuah pohon di belakang, membuat Arzo benar benar tidak bisa bergerak. Ia menautkan alisnya saat melihat sorot mata tajam milik Feiro, sekalipun penjaga tersebut tidak bisa berdiri tegak.

"Wow... wow.... Bisa kau turunkan itu dulu?" ucap Arzo berusaha mencairkan suasana. Feiro masih terdiam, tangannya bahkan tidak bergetar sama sekali.
"Feiro...?"

Feiro merasakan lidahnya kelu. Andai saja kemarin malam ia tidak berada di luar, dan andai saja saat itu Feiro tidak melihat apapun di rumah Arzo. Penjaga tersebut mengumpat di dalam hatinya. Mengingat bagaimana nada bicara Arzo yang sama sekali tidak menyiratkan maksud tertentu selama ini, membuat Feiro semakin ragu untuk memperlakukan orang tersebut seperti sekarang. Napasnya semakin memendek, perlahan Feiro menurunkan pedangnya itu. Semakin lama penjaga itu semakin tidak dapat memandang Arzo.

"Apa yang kau lakukan...?" pekik seorang wanita dari kejauhan, membuat Feiro kembali memegang erat senjatanya itu. Feiro melirik ke arah sumber suara. Chloe masih berdiri di tempatnya dengan keranjang kosong, memandang dua orang dengan tatapan nanar. Feiro membuang muka, melihat bagaimana ekspresi Chloe hanya membuat tangannya melemas.

Wanita itu berlari, berdiri di samping Arzo yang membeku. Feiro harus semakin berusaha menghindari tatapan Chloe.

"Dimana kau sembunyikan perlengkapan perang desa?" ujar Feiro semakin mengeraskan rahangnya. Tangan kanannya semakin mengeratkan pegangan pada tongkat.

"Mak... maksudmu...?" tanya Arzo sedikit tergagap, berusaha agar tidak terlalu banyak membuat gerakan.

"Aku ulangi sekali lagi, dimana kau sembunyikan semua perlangkapan perang desa?" kata Feiro dengan nada sepelan mungkin, menampilkan garis tipis pada bibirnya. Arzo masih tidak menjawab, membuat Feiro semakin yakin untuk memajukan pedangnya.

"Aku berbicara padamu, Arzo."

"Feiro...!" bentak Chloe melihat mimik wajah Arzo yang merasa terintimidasi. Feiro tidak mengalihkan pandangan, keraguan yang sebelumnya tertanam sekarang langsung menghilang begitu melihat pemuda di hadapannya sama sekali tida berkata apa apa.

Chloe semakin menganga dibuatnya. Tangan yang seperti biasa penuh dengan warna putih tepung kini tergantikan dengan merah darah setelah menarik pedang Feiro ke arahnya.

"Chloe, lepaskan itu!" Perempuan itu tidak mengeluarkan sepatah katapun. Rasa nyeri yang menjalar harus ia tutupi. Arzo tidak bisa melakukan apa-apa, hanya menaikkan satu alisnya melihat hal gila yang dilakukan Chloe.

NolanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang