BAB I : Why should I?

296 27 0
                                    

Kenapa harus aku yang tersiksa seperti ini?

Kenapa harus aku yang terus terjebak dalam gelapnya labirin tanpa jalan keluar?

Kenapa harus aku?

-Vanko Dicskon.

***

Pelajaran kimia kali ini, sangat membosankan. Seperti pada mata pelajaran sebelumnya yang tidak pernah membuatnya berselerai dalam menerima materi yang dijabarkan. Walaupun begitu, ia tetap mencoba untuk serius---setidaknya, ia tidak menyia-nyiakan uang kedua orangtuanya yang digunakan untuk menyekolahkannya hingga kini. 

Namun sepertinya, ia merasa kesulitan, membuat helaan napas lolos begitu saja, kala kepalanya mendadak pening, membiarkan pena yang digunakannya untuk memindahkan materi di papan tulis ke buku kosong sontak terhentikan. Bahkan, ia juga berhenti untuk mengamati guru yang mengajar dengan memejamkan mata dan memijit pelipisnya---berharap semuanya akan baik-baik saja. Akan tetapi, ia tidak pernah tahu jika tindakannya itu malah membuat kepalanya makin sakit.

Bahkan, saat ia kini mengedarkan pandangannya pada sekitar, dan mendapati seseorang yang duduk di bangku sebelahnya mengerut bingung. "Kau baik-baik saja, Vanko?"

Lekaki itu, Vanko Dickson mengabaikan pertanyaan yang dilontarkan dan memilih untuk menutup telinganya saat merasakan suara-suara yang menganggu dan menyusup masuk tanpa henti. Manalagi, saat ia mengangkat kepala untuk menatap sekitar, ia malah mendapati presensi guru yang menatapnya dengan senyum miring. Vanko melihat guru yang mengajar kimia di mata pelajaran hari ini, membawa sebuah cambuk.

"Kau manis, dan aku menyukai hal itu. Aku suka semua yang ada pada dirimu, Vanko!"

Mendengar tutur kata itu, membuat Vanko menggeleng dengan napas yang memburu. "Tidak! Jangan mendekat!"

Pekikan Vanko membuat seisi kelas, langsung menoleh untuk mengamati Vanko yang kini dipenuhi oleh keringat dingin. Bahkan, membuat Mr. Hans menghentikan mata pelajarannya untuk sejenak.

"Vanko, baik-baik saja?"

Akan tetapi, pikiran dan pendengarannya tidak menerka hal yang sebenarnya. Vanko melihat seisi kelas seakan mendekat dengan menyeringai.

"Dia benar-benar hina."

"Sepertinya, dia menikmatinya. Ayolah, jangan tertipu daya oleh tampang dan kekayaannya. Manatahu, dia selalu melakukannya dan sering bergonta-ganti." 

"Really? Oh God! Dia harus dihindari karena dia akan membawa dampak yang buruk!"

"Setuju, seharusnya dia mati saja. Kenapa masih hidup sampai sekarang?"

Kedua manik Vanko menatap sekitar dengan takut. Bahkan, saat ia harus mendengar suara cambuk dan orang-orang yang menyudutkannya.

"Jangan! Jangan ganggu aku!" isaknya ketakutannya. 

"Vanko! Ada masalah?" Pun, ia mulai tersadar dengan sekitarnya. Seisi kelas tampak baik-baik saja, di mana sebagian teman sekelasnya memilih untuk mencatat dan ada juga yang memilih untuk menatapnya. Membuat Vanko dengan segala kecemasannya, menggeleng dan memutuskan untuk berdiri.

"Aku---aku izin ke toilet, Mr," katanya yang kemudian berlarian. Belum mendengarkan balasan dari Mr. Hans yang membuat pria itu hanya menggeleng dan kembali melanjutkan mata pelajarannya.

Apa yang dilihat dan didengarnya terasa sangat nyata. Vanko merasa tertekan saat merasakan itu semua---untuk kesekian kalinya saat masa lalu itu terus menghantuinya tanpa henti. Mengubrak-abrik kehidupannya dan meninggalkan luka yang teramat menyedihkan. 

Twinkle-UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang