BAB XVIII : Get away from you

79 9 1
                                    

Pagi cepat sekali datang menghampiri. Namun, pagi ini tidak secerah dengan kemarin, setelah pembicaraan panas dengan Vanko kemarin sore, terjadi. Bahkan, karena itu, ia belum melihat eksistensi Vanko pada pagi ini. Padahal, bel hampir berbunyi dan ia kini menantinya di depan gerbang.

"Ais, kenapa dia belum datang?" ucapnya khawatir seraya celingukan. Membuat Mr. Gio yang menjaga gerbang, berkacak pinggang.

"Kau belum ingin masuk? Bel hampir berbunyi."

Sachi tersenyum tipis. "Aku menunggu temanku, Vanko," katanya. Dengan sekejap, membuat Mr. Gio berpikir.

"Apa lelaki yang akhir-akhir ini sering bersamamu?" tanyanya memastikan, pun Sachi mengangguk. Dan, Mr. Gio langsung terkekeh. "Dia tiba begitu dini, sebelum kau hadir dan pintu gerbang belum dibuka."

Mendengarnya, membuat Sachi dibuat terkejut. Padahal, ia telah menunggu hampir sejam. Itu pun, Sachi ke sekolah dengan waktu yang biasanya. Apa ini karena kemarin? Sepertinya memang iya. Alhasil, Sachi langsung memberikan salam perpisahan pada Mr. Gio sebelum menuntun kedua kakinya ke kelas.

Tidak butuh waktu lama, dengan berlari ia dapat tiba di kelas, dan benar yang Mr. Gio katakan. Vanko sudah berada di dalam kelas. Bahkan, tengah membaca buku seperti biasanya. Dengan kilat, Sachi mendekat ke bangku mereka dan tersenyum tipis---menahan kegugupannya.

"Vanko … aku …."

"Gladis, bisakah aku meminta bantuanmu?" tanya Vanko tanpa mengalihkan pandangannya pada buku itu. Bahkan, tidak memedulikan kehadiran Sachi yang baru saja tiba dengan berpeluh.

Gadis yang dipanggil pun, sontak menoleh ke arah Vanko, karena ini kali pertama dalam sejarah namanya dipanggil oleh lelaki tertampan di sekolah---setelah melakukan voting di forum sekolah. "Tentu, katakan saja!"

Alhasil, Vanko mengalihkan tatapannya untuk mengamati gadis itu. "Aku ingin suasana baru. Bisakah kita bertukar tempat? Biarkan aku sebangku dengan James. James pun pasti tidak keberatan, benarkan James?" Yang ditanya pun sontak mengatakan 'ya' saat ia tengah sibuk menangani daftar hadir murid di kelas ini.

Dengan senyum yang terpatri, Gladis menatap Sachi yang menatap Vanko begitu lekat---serasa ada yang tidak beres dengan aura kedua sejoli itu. Akan tetapi, Gladis lebih memilih mengiyakan dan langsung saja mengambil beberapa barangnya untuk dipindahkan di bangku Vanko.

Sachi yang melihat Vanko mengambil barangnya untuk pindah, sontak memegang pergelangan tangan Vanko untuk menghentikannya. "Vanko …."

Namun, Vanko langsung menepisnya---tanpa menatap kedua mata Sachi dan langsung berlalu begitu. Kedua matanya sontak berkaca, semuanya makin rumit. Ia ingin berterus terang, tetapi Vanko mengabaikannya. Apalagi, besok adalah hari terakhirnya di London. Karena malam harinya, pesawat yang akan ditumpanginya akan lepas landas---sesuai dengan perencanaan.

***

Sachi benar-benar merasa kacau. Ia tidak memiliki ruang untuk berbicara empat mata dengan Vanko, karena Vanko akan menghindar dan mengabaikannya jika ia mencoba melakukannya.

Ia sendirian, dan baru kali ini ia merasa benar-benar sendirian. Sam? Ayolah, lelaki itu sedang sibuk mengurus persiapan Olimpiadenya dan Vanko? Lelaki itu bahkan enggan menatapnya. 

Di pojok perpustakaan, Sachi sontak menangis sesenggukan. Menumpahkan segalanya kesulitannya. Ia sudah tidak bisa lagi menahan kesedihannya selama ini. Lagipula, perpustakaan tengah sepi dan ia memilih tempat yang dihindari banyak orang karena pengap dan terasingkan.

"Tidak ada yang perlu kau lakukan, Sachi. Semuanya sudah sangat jelas. Kau dengan persekongkolan ayahmu itu, sudah sangat jelas. Untuk itu …," 

Twinkle-UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang