BAB XX : Letter and Regret

93 11 0
                                    

Vanko menatap pemandangan luar mobil dengan senyum getir. Malam ini, hujan cukup lebat---menghantarkan udara dingin hingga menusuk tulang. Ia hanya menghela napas, kala mendengar suara ayah, ibu dan adiknya yang tengah bercerita mengenai banyak hal sembari menanti mereka tiba ke tujuan---rumah mereka--- setelah mereka mengunjungi restoran untuk menghabiskan waktu. Lagipula, Vanko terpaksa ikut, karena ia dengan jelas dijemput saat menanti jemputan di depan gerbang.

Sungguh, ia tidak berminat untuk melakukan hal apapun. Setelah, perbincangan sederhananya dengan Sachi yang menangis---membuatnya merasa bersalah dan gelisah. Apa Sachi baik-baik saja setelah mendengar penolakannya?

"Vanko, bagaimana dengan makanan lautnya, kau suka'kan?" tanya Victory---sang ayah yang tengah mengemudi. Vanko hanya mengangguk dengan menyanderkan kepalanya pada kaca, seraya mengamati layar ponselnya yang ia matikan beberapa saat.

Sekejap, Vanko mengerutkan dahi kalau melihat sebuah pesan. Untuk pertama kalinya, Sam mengiriminya sebuah pesan.

[Sam]
Sachi tidak bersalah, Vanko. Kenapa kau tidak menemuinya? Sachi bahkan, telah menunggumu sangat lama.

Alhasil, Vanko terpaku membacanya. Sekilat, ia mengingat amplop dari Sachi atas kebingungannya dengan pesan Sam. Buru-buru, ia mengambil sebuah amlop (yang ditaruh Sachi pada lacinya) dari dalam tas. 

Kedua matanya sontak mengerjap-ngerjap. Tanpa memikirkan banyak hal lagi, ia langsung membuka amplop itu dan mengamati surat tersebut dengan lekat. Aileen yang mengamati putranya  dari kaca spion mobil dalam, sontak menoleh ke belakang saat melihat ekspresi Vanko yang terkesiap, hanya membaca sebuah surat. Bahkan, saat napas Vanko terdengar tidak beraturan dengan bibir yang bergetar.

"Vanko, kau baik-baik saja?"

"Dad, berhenti!"

Alhasil, membuat Victory menaikkan sebelah alisnya. "Berhenti? Kenapa---"

"Dad, aku mohon …," lirih Vanko dengan suara mengecil. Masih bisa didengar walau suara hujan hampir mendominasi. Mendengar Vanko memohon, membuat Victory langsung menghentikan laju mobil. Ingin bertanya hal lebih, Vanko langsung membuka pintu mobil dan membelah lebatnya hujan menuju tujuan sembari memegang surat dan gelang itu.

Vanko bahkan tidak mengindahkan suara ibu dan ayahnya yang kini berteriak memanggil namanya. Karena ia sungguh harus menemui Sachi yang telah menanti kehadirannya di lapangan basket yang pernah mereka kunjungi. Beruntung, jarak yang ditempuhnya pun tidak terlalu jauh---hanya berlari selama beberapa menit di tengah lebatnya hujan yang datang.

Hai, Vanko. Ini Sachi. Aku menulis surat ini untuk mengeluarkan apa yang seharusnya kukatakan kepadamu.

Aku tahu, kau membenciku karena dosa yang dibuat ayahku, tetapi sungguh! Aku melakukannya dengan tulus.

Aku peduli kepadamu, karena kau berhak mendapatkannya. Bukan, karena aku ingin merencanakan sesuatu untuk menghancurkanmu.

Sekelibat, Vanko mengingat bagaimana Sachi yang terus berada di dekatnya, peduli dan mencoba membuatnya menjadi pribadi hangat. Disela hujan, Vanko menangis, merutuki kesalahannya dengan tidak mendengar penjelasan Sachi sebelum pulang tadi dan terus menghindarinya.

Awalnya, aku hanya ingin menjadi pribadi bermanfaat saat mendengar kisahmu dari Sam.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu. Kau sangat berharga bagiku. Melihatmu tersenyum, membuatku makin semangat untuk bertahan. Jadi ….

Jangan mengatakan jika aku melakukannya karena niat buruk. Itu menyiksaku, Vanko. 

Perlahan, aku merasa tidak memiliki harapan untuk bertahan jika kau mengatakan hal itu.

Twinkle-UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang