BAB XXI : When that day comes

161 8 0
                                    

Sachi mengamati kedua orangtuanya yang tengah berbincang dengan dokter spesialis onkologi, mengenai operasi pengangkatan sel kanker pada otaknya. Ia menghela napas lirih. Ada rasa tidak senang saat ia tidak bisa melihat Vanko untuk terakhir kalinya. Bahkan, saat sang ibu menyita ponselnya hingga pulih nanti. Itu berarti, ia tidak bisa bertukar kabar dengan Sam mengenai Vanko. Ah, menjengkelkan sekali.

"Sachi, jangan memikirkan banyak hal, ya," ujar sang dokter yang berpin nama Marissa Helsie.

Sachi yang tidak memerhatikan dokter Marissa maupun kedua orangtuanya yang tiba-tiba berada di dekat ranjangnya, merasa terkejut. "Eh, hum!" Sambil mengangguk, tetapi ia langsung menatap sang dokter. "Dokter, apa aku kemungkinan bisa sembuh?"

Dokter Marissa yang melihat binar mata Sachi, sontak tersenyum kecil. "Sachi pasti bisa sembuh. Harus yakin, ya," balasnya dengan lembut.

Sachi mengangguk. "Itu berarti, aku bisa menyaksikan pertandingan basket temanku nantinya."

"Sachi!" Belle memanggil putrinya yang berbicara tidak jelas. Sebelum tiba di New York pun, Sachi terus mengatakan dan meminta izin pada mereka untuk kembali ke London dengan alasan; ingin menyaksikan pertandingan bola basket.

"Tapikan, Mom dan Dad sudah janji …," lirihnya. Kalau sudah begini, mereka tidak bisa melakukan hal apapun.

Dokter Marissa yang melihat itu, memilih mengelus pucuk rambut Sachi. "Sachi pasti bisa menyaksikan pertandingan itu. Dokter sangat yakin, jika Sachi bisa melaluinya."

Mendengarnya, membuat Sachi tersenyum bahagia---tidak sabar menanti hari itu tiba.

***

Suara pantulan bola terdengar amat nyaring, mengisi penjuru lapangan basket dalam ruangan tanpa henti. Diselingi dengan suara pekikan---memberikan arahan untuk mencetak angka. Saat masuk, semua akan bersorak bahagia dan berpelukan.

"Kau hebat, Vanko!"

"Aku yakin, kita akan bisa menang di kompetisi antar sekolah nanti."

Lantas, Vanko yang mendapat pujian dari para rekannya, hanya tersenyum tipis yang kemudian kembali memantulkan bola dan menggiringnya.

"Kau benar, Sam. Ternyata, dia hebat juga. Dua minggu ini, aku melihat tim yang makin luar biasa dan aku selalu melihat Vanko, berlatih seorang diri saat pulang sekolah. Aku mengatakannya, tidak bermaksud membandingkanmu dengan Vanko. Kalian berdua, memiliki potensi yang kuat dalam basket," kata Koch---selaku pelatih tim basket Stora High School.

Sam yang masih mengenakan seragam sekolah, hanya tersenyum---mengamati gerakan lihai Vanko yang menguasai bola. "Vanko memang luar biasa, dia sangat pintar menyembunyikan keahliannya. Ah, aku jadi tenang meninggalkan basket."

Alhasil, Koch menoleh pada Sam yang masih fokus pada Vanko. "Aku kira, kau hanya bercanda, Sam. Lagipula, kau bisa menyimbangi keduanya. Akademi dan basket. Bukankah keduanya berarti?" Koch menimpali, pun membuat Sam mengerucutkan kedua bibirnya, dan menghela napas.

"Itu sulit, dan aku memang harus memilih di antara itu. Tenang saja, Coach. Aku akan sering mengunjungi kalian," katanya yang kemudian tertawa.

Koch yang mendengarnya, tidak bisa berbuat lebih. Ia hanya bisa mendukung Sam, selaku muridnya yang memang memiliki keinginan besar untuk meraih cita-citanya. Terlihat, saat Koch kini merangkul Sam seraya mereka mengamati latihan dari tim pilihan.

***

Vanko menatap rembulan yang kini memperlihatkan binarnya, juga bagaimana bintang yang berkilau sangat indah. Sekejap, ia tersenyum tipis seraya memegangi gelang berwarna ungu di tangannya.

Twinkle-UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang