BAB IX : Feel Different

80 10 0
                                    

Kedua mata huzelnut-nya, menatap sekitar dengan takut. Semuanya gelap dan juga panas. Ia bahkan serasa pengap dan sulit untuk bernapas maupun bergerak saat baru menyadari jika mulutnya yang disumpal dengan sebuah kain dengan pakaian yang ia kenakan teroyak tidak beraturan. Bahkan, saat ia mendapat kedua kaki maupun tangannya yang diikat begitu erat dengan kabel listrik.

Ketakutannya semakin meningkat, kala mendengar derap langkah yang mendekat. Bahkan, saat sesuatu yang seperti diseret, membuatnya langsung melirik dengan takut di mana ia dapat melihat seseorang dengan tampang serigala buas, mendekatinya dengan membawa sebuah cambukkan---mengingatkannya dengan kejadian sebelumnya.

Bahkan, saat sosok pria yang dapat dilihat wajahnya begitu jelas, kini berjongkok dan mengarahkan jemari kekar itu untuk membelai wajahnya begitu lembut. Sosok itu tersenyum puas mendapati ketakutannya.

"Masih banyak hal yang harus diselesaikan, anak manis!"

Mendengar tutur kata itu, membuat Vanko langsung menggeleng ditemani peluh yang menghiasi pelipisnya. Bahkan, saat deru napas yang tidak beraturan, membuat murid yang berada tidak jauh dari bangkunya, langsung menoleh.

Banyak orang menyakini, jika Vanko tengah melamun dan mengelami hal yang menyesakkan. Membuat Sachi yang mengingat Vanko yang pernah mengalami hal terburuk, langsung menarik kesimpulan di mana Vanko kembali mengingat masa lalunya.

Lantas, Sachi kini menyadarkan Vanko dari ketidaksadarannya dengan menggoyangkan bahu itu. "Vanko, apa kau ada masalah?"

Secara spontan, Vanko menoleh pada Sachi dengan peluh yang membanjiri wajahnya. Vanko tidak menjawabnya, hanya lewat kedua bola mata yang berkaca, mewakili keadaannya yang tidak baik-baik saja.

Melihat itu, membuat Sachi mengusap pundak Vanko agar lebih tenang lagi. Apalagi, pribadi itu terlihat tidak menolak sentuhannya. Sachi hanya menghela napas dan tersenyum statis. "Apa yang kau alami di masa lalu itu, sebuah mimpi yang buruk. Aku yakin, kau bisa keluar dari mimpi itu."

Vanko hanya memejamkan mata, lantas tidak lama tersadar akan perkataan Sachi yang membahas perihal masa lalu. Padahal, ia sama sekali tidak pernah bercerita apapun kepada gadis itu. Hanya perbincangan singkat dan tidak ada kaitannya dari masa lalu.

Dengan sebelah alis yang terangkat, juga sorot mata tajam kini tertuju pada Sachi. Tidak mengindahkan kala Miss. Ville sedang mengajar di kelas.

"Dari mana kau tahu?"

Hoh. Sachi langsung meneguk salivanya susah payah. Dalam hati, ia merutuki diri sendiri kalau mengatakannya begitu gamblang. Tidak mungkin jika ia menjawab pertanyaan Vanko kelewat jujur dengan berkata; Sam-lah yang memberitahunya.

Ayolah, Sachi tidak ingin menjadi bebek goreng dan menjadi santapan makan siang Sam.

"Itu ...." Sachi masih menelusuri pikirannya untuk mencari jawaban yang tepat. Ingin berkata; menebak pun. Vanko begitu jeli dan mana mau percaya begitu saja. Akan tetapi, Tuhan benar-benar menolong Sachi dalam keadaan sulit seperti ini, walaupun hanya bersifat sementara saat Miss. Ville yang tengah mengajar, langsung berujar ke arah mereka.

"Vanko Dickson dan Sachi Martinez! Berada di kelompok yang sama untuk menyelesaikan laporan untuk materi ini yang harus dikumpul tiga hari ke depan."

Dan beriringan, bel yang menandakan jam istirahat berbunyi, membuat sesi pelajaran kali ini usai. Termasuk, ia yang langsung keluar dari jeratan dari mata tajam itu.

"Wah, kita satu kelompok untuk membuat laporan prakatikum sistem sirkulasi pada hewan. Kusarankan, kita gunakan ikan saja---"

"Kau belum menjawab pertanyaanku," pangkasnya dengan nada tak bersahabat.

Twinkle-UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang