BAB XII : A Destiny

78 13 0
                                    

Setelah hari di mana Vanko mengambil bagiannya dalam hukuman kemarin, membuat Sachi terus saja dibuat tersenyum. Hampir setiap saat, dan itu membuat Sam yang tengah meminta Sachi untuk menemaninya makan di kantin sekolah, merasa bingung dengan sikap temannya itu. Apalagi, Sachi hanya mengaduk makanannya dengan garpu---tidak ada niat untuk mencicipi.

"Sachi, apa kau baik-baik saja?"

Secara spontan, Sachi mengalihkan seluruh fokusnya dan mengarahkannya pada Sam. "As you can see, i'm doing good." Lantas kembali melanjutkan lamunannya.

Melihat itu, membuat Sam makin khawatir. Akan tetapi, Sachi akan terus mengatakan 'baik-baik saja' jika ia kembali menguarkan pertanyaan. Alhasil, ia hanya mengangguk dan kembali pada makanan yang dipesannya.

"Ah, aku ingin sekali menemui Vanko."

"Apa dia ada di perpustakaan?"

Sachi mengatakannya dalam hati, hingga tidak lama, ia melihat eksistensi Vanko yang tengah beriringan dengan murid baru---Rose. Sekejap, Sam yang mengikuti ekor mata Sachi, refleks ber'oh ria.

"Itu, Rose. Kenapa bisa bersama dengan Vanko? Hoh, aku lupa jika mereka teman masa kecil," katanya. Tidak lupa, memasukan potongan kentang goreng pada bibir tipisnya.

Ada rasa kecewa saat Sachi melihat hal itu. Sekalipun Vanko hanya menampakkan dirinya dengan tatapan datar, tetapi tetap saja! Ia tidak nyaman. Sudah jelas sekali jika ia cemburu.

Akan tetapi, ia malah terfokus pada pernyataan Sam yang seolah mengenal Rose. Hingga ia kini menoleh ke arah Sam yang kembali sibuk dengan makanannya. "Kau kenal Rose?"

Tanpa melirik ke arah Sachi, Sam mengangguk. "Aku sekelas dengannya," ucapnya yang kemudian menatap bola mata itu, "dan kau sendiri? Kenapa kau bisa tahu Rose?"

"Kemarin, dia memanggil Vanko saat kami berdua menjalani hukuman. Disitulah, kami berkenalan."

Sam sontak berdecak. "Lain kali, kau harus memeriksa dengan teliti perlengkapan sekolahmu. Kalau sudah begitu, kau sendiri yang akan susah. Lagipula, kenapa tidak memperlihatkan bukti jika kau sedang tidak baik-baik saja pada Miss Jea?" balasnya dengan nada kesal. Sekilat, ia tidak bernapsu untuk menyantap hidangan yang tersaji di hadapannya.

Sachi yang mendengar kekesalan temannya itu, hanya mengerucutkan kedua bibirnya bak bibir bebek. "Itu akan makin sulit. Awalnya, aku berpikir akan langsung mati di tengah putaran. Akan tetapi, Vanko datang sebagai penyelamat. Bahkan aku melihat dengan jelas makalahnya, tetapi ia malah bersikap seolah tidak mengerjakan tugasnya dan mengambil bagianku sebanyak 9 putaran. Itu ... membuaku kagum kepadanya." Sachi mengatakannya dengan kedua mata yang berbinar. Sam dapat melihat pancaran itu dan membuat kedua bibirnya serasa kelu untuk berkata.

"Dugaanku memang benar. Dia itu sangat baik, sebenarnya. Bahkan, dia sangat peduli dengan sekitarnya. Namun, aku hanya bingung, kenapa dia malah begitu peduli kepadaku? Tidak mungkin jika Vanko tahu penyakitku'kan?" katanya dengan selingan kekehan.

"Ka--kau menyukainya?" Hanya itu yang dapat dikeluarkan oleh kedua bibirnya. Berusaha, menahan diri untuk tidak memperlihatkan bagaimana keadaan Sam yang tengah cemburu.

Sachi cuma tersenyum tipis, memberikan makna jika itu memang benar. "Aku pastikan, semua gadis pasti menyukai Vanko, jika Vanko terus memperlihatkan sisi tersembunyi dalam dirinya yang seperti hero," kata Sachi dengan anggukan, hingga kedua matanya kini fokus pada arloji yang berada di pergelangan tangannya. "Ouh, aku hampir lupa. Aku harus menemui James dan terima kasih karena telah mentraktirku. Sampai jumpa dilain waktu, Sam!"

Sam yang sebenarnya ingin mengatakan sesuatu, mendadak tidak jadi, karena takut. Ia takut jika ada rasa canggung jika mengungkapkan perasaannya. Mereka seperti adik-kakak, terdengar aneh saat ia malah memiliki niatan untuk lebih dari itu. Mungkin, memang benar. Ia seharusnya membinasakan perasaan ini. Lagipula, Vanko tidak buruk juga. Ia cukup kenal dengan Vanko. Bahkan, bagaimana Vanko bisa seperti ini.

Twinkle-UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang