BAB XIV : Hope that is fulfilled

83 13 0
                                    

Vanko menatap rembulan yang memancarkan binarnya pada buana, dengan selingan kedua sudut bibir yang spontan terbentang kala mengingat beberapa momen dengan gadis bar-bar itu. Memang aneh, saat ia terus saja merasakan debaran jika dekat dengan Sachi, dan juga, rasa ingin terus bersama diwaktu yang beriringan.

Akhir-akhir ini, Vanko juga merasakan dirinya mendadak aneh. Kala, ia terus saja ingin tersenyum tanpa alasan. Sekejap, membuat helaan napas lolos dari bibir tipisnya yang kembali memusatkan fokus pada bentangan langit yang amat indah.

Ia tersenyum tipis. "Sepertinya, aku memang harus keluar dari ini semua ...."

"Jika yang lalu, aku sama sekali takut saat melangkah ...," jedanya yang sontak memejamkan mata, "sekarang, aku harus melangkah keluar dari kunkungan ini."

Dengan spontan, ia mengangguk yang diiringi sebuah senyuman. "Setidaknya, aku belajar dari banyak orang yang berusaha untuk bertahan. Dan aku akan berusaha untuk melakukannya."

Kata-kata itu, lolos begitu saja. Bahkan, beriringan dengan fenomena bintang jatuh---meteor yang melintasi lapisan bumi dengan sangat indah.

 Bahkan, beriringan dengan fenomena bintang jatuh---meteor yang melintasi lapisan bumi dengan sangat indah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Sachi menatap sekelilingnya dengan antusias. Manakala, ia akan berangkat bersama Vanko ke sekolah. Bahkan, Sachi begitu niat dengan menyetel banyak jam beker, karena ia tidak ingin membuat Vanko menunggu begitu lama.

Ya, walau ia harus pasrah karena ialah yang harus menunggu. Sungguh sangat disayangkan. Saat Vanko tidak juga membalas pesan yang ia kirim beberapa menit lalu. Sachi hanya takut, bagaimana jika Vanko melupakannya?

"Tetapi itu tidak mungkin. Lagipula, dia lewat sini," gumamnya dengan yakin. Kemudian, memperbaiki bando berwarna ungu yang ia kenakan dan tersenyum lebar memperlihatkan gigi kelincinya.

Hingga tidak lama, ia menoleh ke arah di mana seseorang keluar dari perumahan besar itu---mengayuh sepeda dengan seragam yang sama dengan dirinya. Itu Vanko, yang sontak membuat Sachi mendelik.

"Vanko? Mengayuh sepeda?" katanya dengan terkejut. Lantas, memilih memberikan tamparan pada pipi mulusnya untuk memastikan dan itu sakit---menandakan jika ia tidak sedang bermimpi. Bahkan, saat Vanko kini menghentikan laju sepedanya tepat di hadapannya dengan selingan sebuah senyuman manis melebihi permen.

"Ayo!" Vanko menatap Sachi seraya menunjuk boncengan di belakangnya dengan ekor matanya.

"Naik sepeda? Apa kau yakin?" tanya Sachi dengan memicingkan kedua matanya, pun membuat Vanko tersenyum dan mengangguk.

"Aku ingin mengetes seberapa hebat aku mengayuh sepeda," balasnya yang membuat Sachi kini berpangku tangan.

"Jangan bilang ini ...." Vanko langsung mengangguk dengan tampang serius. Kesekian kalinya, menyuruh Sachi untuk duduk di belakang. Tanpa pikir panjang lagi, Sachi pun melakukannya dengan duduk menyamping. Dengan menumpu ranselnya di paha agar roknya tidak terbang ke mana-mana.

Twinkle-UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang