BAB VII : Unexpected at All

91 13 0
                                    

Sachi memang mengalami mimisan, tetapi gadis itu tidak pergi ke tempat yang semestinya. Gadis itu memiliki ke rooftop dan menghentikan mimisan yang terus terjadi hingga sepuluh menit. Hanya berbekalkan tisu yang diambil di kelas, Sachi memilih melakukannya di tempat ini.

"Ah, kenapa mimisannya harus saat ini?" tanya Sachi pada dirinya sendiri, seraya membuang tisu bekas itu ke kantong plastik.

Sebenarnya, mimisan sudah hal biasa yang dirasakan oleh Sachi---sejak 2 bulan ini jika ia terlalu lelah. Itu dia! Sachi menghindari kelas olahraga, dan ini kali pertamanya ia mengikuti kelas itu. Biasanya, Mr. Grey yang memang memahami keadaan Sachi yang lemah, hanya memberikan tugas menulis untuk meringkas satu bab---seperti jika Sachi melakukan olahgara dalam konteks yang berbeda.

Dibilang lemah pun, banyak orang yang tidak akan percaya, karena melihat bagaimana aktifnya Sachi dalam beberapa hal. Akan tetapi, itu memang benar. Bahkan, Sachi tersenyum getir saat enggan mengakui dirinya yang seketika lemah. Ia tidak percaya saja, takdir ternyata sangat sulit untuk ditebak. Terkadang, membuatnya lelah lahir dan batin saat memikirkan itu semuanya. Termasuk, apa yang terjadi jika Tuhan telah memanggilnya.

"Kau memang tidak waras, Nona Martinez! Aku mencarimu di unit kesehatan, tetapi aku tidak menemukanmu dan ternyata, kau ada di sini." Seseorang langsung bersikap seolah marah pada Sachi, tetapi Sachi serasa enggan untuk meladeni. Terbukti di mana Sachi yang hanya menghela napas dan berusaha menyembunyikan kantong plastik itu. 

"Lagipula aku tidak menyuruhmu untuk mencariku'kan?" tanyanya, membuat Sam sontak memijit pelipisnya dengan pelan lantas mendekati Sachi yang berusaha untuk menyembunyikan sesuatu. Untung, sejak kecil Sam terus mengonsumsi wortel hingga penglihatannya amat jeli. Terlihat bagaimana Sam yang langsung mengambil plastik itu dan berkacak pinggang. Bersiap-siap untuk memberikan omelan pada Sachi yang kini menyengir. "Itu hanya sampah!"

"Kau minum obatmu?"

Dengan pelan, Sachi menggeleng. "Aku melupakannya di kamarku."

Sam pun menghela napas sekali lagi. Ingin marah, tetapi melihat Sachi yang tiba-tiba murung, membuatnya mengurungkan niat. "Kenapa bisa lupa? Pasti sakit'kan?" tanyanya sembari duduk tepat di samping Sachi yang kini menggelengkan kepalanya.

"Tidak sakit." Tapi terkadang sangat sakit.

Mendengar tutur kata Sachi, membuat Sam berpikir dengan menjadikan wajah Sachi sebagai paronamanya. "Aku minta maaf …."

"Minta maaf? Kenapa? Perasaan, aku yang selalu menyusahkanmu."

Sam terdiam untuk beberapa saat. "Uangku belum cukup untuk membantumu, tetapi setidaknya ini bisa meringankan semuanya." Sambil menyedorkan sebuah amplop putih.

"Aku tidak seperti yang kau bayangkan, Sam," katanya amat lirih---menolak secara halus dengan sisipan sebuah senyum. "Kau yang selalu mendengar semua suka maupun dukaku itu sudah cukup. Tidak perlu merepotkan dirimu, karena Mom dan Dad-ku, memiliki solusi untuk hal ini. Lagipula, aku sudah menjalani beberapa perawatan sebelum menjalani operasi dan kupastikan, aku pasti bisa bertahan. You know! I'm strong girls." Sachi berujar dengan percaya diri. Membuat kedua sudut bibir Sam merekah sempurna. Bahkan, memperlihatkan sebelah lesung pipitnya dan tidak pernah Sam sadari, air mata yang langsung menetes dari pelupuk matanya di saat itu juga.

Sachi menyadari itu, dan ia tiba-tiba saja ikut menangis. Disela senyumnya, ia menatap Sam yang begitu peduli dengan dirinya selama ini dan itu dimulai sejak mereka kecil. "Sam, terima kasih selama ini."

Sam mengangguk. "Itulah gunanya, sahabat. Kau juga sudah kunggap sebagai adik kecilku, jadi jangan sungkan untuk mengatakan ataupun meminta bantuanku, oke?" 

Twinkle-UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang