BAB VIII : Unexpected at all pt.2

82 11 0
                                    

Vanko belum berujar, serasa ia kurang yakin jika gadis di depannya ini adalah teman masa kecilnya. Gadis yang mengaku sebagai Rose pun, sontak menuntun kedua kakinya agar lebih dekat lagi dengan Vanko. Hingga, helaan napas yang beriringan dengan senyum manis, gadis itu mengayukan jemarinya untuk memukul kepala Vanko.

Bahkan, Vanko meringis dibuatnya.

"Ais, bedebah! Kau bahkan melupakanku setelah aku hanya pergi sebentar saja."

Vanko cukup terkejut dengan pekikan juga tindakan yang gadis itu berikan. Membuatnya, langsung percaya jika gadis itu benar-benar adalah Rose. Sikapnya yang lebih bar-bar, tidak pernah ia lupakan sejak dulu. Bahkan, terlihat Rose yang ingin memukul untuk kedua kalinya, tetapi urung terjadi karena ia melihat bagaimana Vanko yang mencoba untuk menghindar. Sekejap, membuat Rose tersenyum tipis.

"Bagaimana kabarmu? Kau baik-baik saja'kan?" tanyanya yang langsung berubah serius.

Vanko mengangguk. "Sepertinya …."

Alhasil, membuat Rose menarik napas panjang dan menghembuskannya. "Hm, baiklah. Aku tidak ingin membahas hal lebih. Itu menyakitkan, tetapi aku sangat yakin bagaimana Vanko Dickson itu lelaki yang tangguh! Bahkan, dia bisa memainkan bola basket begitu lihai."

"Lupakan soal basket."

Sekejap, Rose menaikkan sebelah alisnya. "Kau menyuruhku untuk melupakan bagaimana keahlian temanku bermain basket?" katanya yang mendapat anggukan dari Vanko. Dengan spontan, Rose menggeleng. "Tidak ingin dan tidak mau. Lagipula, kau sangat cocok menjadi bagian tim basket, tahu. Akan sangat mengagumkan jika kau mengenakan pakaian basket .…"

Rose lantas membayangkan bagaimana proporsi tubuh Vanko jika mengenakan baju basket yang potongan bahunya menyempit ke dalam---sangat seksi. Apalagi, saat Vanko akan melakukan gerakan lihai untuk memasukan bola ke keranjang basket dan tidak lupa saat keringat berjatuhan dipelipis itu.

Vanko yang melihat Rose tengah melamun dengan untaian senyum di kedua bibirnya, sontak mengambil kesimpulan di mana Rose tengah membayangkan hal yang tidak baik. Ia hanya memilih untuk menjentikkan jemarinya tepat di wajah Rose yang membuat sang empu tersadar dan langsung mengalihkan tatapannya. Kesalahan tingkah itu, membuat Vanko tersenyum tipis.

"Jangan memikirkan hal yang tidak mungkin kulakukan," kata Vanko yang kemudian berbalik. Meninggalkan Rose dengan semu merah pada kedua pipinya. Hanya dengan itu, Rose langsung terperangkap dalam pesona seorang Dickson.

Sangat munafik jika Rose tidak mengakui pesona dan ketampanan temannya sendiri. Seandainya, kejadian itu tidak menimpa Vanko, Rose tentu akan melihat bagaimana Vanko yang bisa menjadi seorang pebasket profesional. Membayangkannya, membuat Rose yang terkesan tomboi, merona sendiri dan ingin melompat tidak jelas.

"Aku sangat yakin jika kau bisa menjadi seorang pebasket. Auramu begitu kuat dan kita tinggal menunggu waktu saja," katanya seperti bergumam dan itu sebuah harapan.

***

Mentari datang begitu cepat. Padahal, serasa malam baru saja menghampiri menyuruh untuk istirahat. Awalnya seperti itu, tetapi melihat dan mendengar jam beker, membuatnya menghela napas karena ia harus ke sekolah.

Pagi ini cukup cerah, bahkan didukung dengan kota London yang tidak cukup padat seperti biasanya, sehingga ia bisa tiba di sekolah tanpa hambatan. Karena itu, ia mengingat jalan rahasia untuk tiba di dalam sekolah. Membuat kedua sudut bibirnya sontak terangkat sekilas. Apalagi, saat ia malah mengingat gadis bar-bar yang membuatnya terus jengkel.

Dengan kilat, ia menghela napas, kemudian membuka pintu mobil dan menuntun kedua tungkainya untuk memasuki gerbang yang masih terbuka dengan lebar dan mengarahkan pandangannya untuk menatap sekitar yang mulai dipadati oleh para murid. Bahkan, Vanko kini mendapati guru pengawas yang berjaga di depan gerbang. Tidak seperti biasanya.

"Ayo cepat, aku hampir lupa. Ini hari senin di mana sebelum mengikuti pembelajaran, kita diwajibkan untuk mengikuti apel."

"Ah, aku lupa! Ternyata, jam masuk dipercepat."

Hoh. Vanko baru tahu jika sekolah memiliki kebiasaan apel setiap hari senin. Pantas saja, guru pengawas telah berada di dekat gerbang. Bahkan, berniat mengambil ancang-ancang untuk menutup gerbang. Sehingga, Vanko buru-buru masuk.

Akan tetapi, dari kejauhan, ia mendengar namanya sedang dipanggil. Membuat Vanko langsung menoleh untuk memastikan dan itu adalah ….

Gadis bar-bar.

"Tunggu!" Sachi berteriak dengan napas yang tersengal-sengal. Namun, gadis itu terus berusaha agar tiba di gerbang dan Vanko yang masih mengamati Sachi dari kejauhan, membuatnya mendapati sentuhan dari guru pengawas.

"Kenapa belum masuk?" katanya, membuat Vanko terkesiap dan berusaha memikirkan suatu hal. Lantas Vanko langsung menuntun kedua kakinya, tetapi Vanko terhenti saat melihat tali sepatunya yang tidak tersimpul dengan baik.

Alhasil, Vanko memilih berjongkok untuk merapikan tali sepatunya. Tepat di pertengahan gerbang, membuat Mr. William menghela napas. "Kenapa dengan tali sepatumu?"

"Tunggu!" Hanya itu yang Vanko katakan. Tanpa pilihan lain, Mr. William berpangku tangan menanti Vanko menyelesaikan kegiatannya. Alhasil, beberapa murid yang hampir masuk dalam kategori terlambat, bisa berlalu begitu saja. Termasuk Sachi yang kini bersandar di pohon yang tidak terlalu jauh dari keberadaan Vanko sembari menetralkan napas yang tersengal-sengal.

Tidak lama dari itu, Vanko bangkit dan berlalu setelah menyimpul tali sepatunya. Mr. William yang melihat bagaimana sikap Vanko, hanya bisa menggelengkan kepala yang kemudian menutup gerbang di detik itu juga.

Sementara Sachi yang telah selesai menetralkan napasnya, kini mendekati Vanko yang membantunya agar tidak terlambat. Itu … membuat Sachi benar-benar bahagia.

Dengan kedua sudut yang membentang sempurna dan langkah yang beriringan, Sachi menatap lekat wajah Vanko yang tidak pernah bosan ia pandangi.

"Oh iya, terima kasih karena kau---"

"Tali sepatuku benar-benar tidak terikat," katanya yang membuat Sachi menghentikan langkahnya dan menatap punggung Vanko dengan ekspresi bodoh---terlalu berharap di mana Vanko akan membantunya.

Akan tetapi, Sachi tidak mengindahkannya dan tetap berterimakasih, karena setidaknya, tali sepatu Vanko menyelamatkannya dari jeratan hukuman Mr. William. Terdengar amat luar biasa.

"Vanko! Tunggu aku!" pekiknya yang mencoba mengimbangi langkah dan tentunya, tidak memedulikan murid lain yang akan mencibir karena sikapnya yang bar-bar.

Vanko yang mendengarnya, tiba-tiba saja menghentikan langkah dan membuat Sachi yang berlari, menubruk punggung itu. "Argh!" ringisnya sembari memegangi dahinya.

Tanpa memedulikan ringisan Sachi karena ia yang tiba-tiba saja berhenti melangkah, Vanko langsung saja mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan menyedorkannya pada gadis itu. "Untukmu."

Dengan kilat, Sachi menoleh ke belakang. Barangkali, menemukan sebuah kejanggalan di mana susu rasa pisang itu bukan untuknya. Melainkan seseorang yang berada di sekitarya. Sontak hal itu, membuat Vanko berdecak sebal. Sehingga, dengan jemari dingin dan berpeluh, Vanko langsung meraih jemari Sachi dan menaruh susu kotak itu. "Ini bagus untuk kesehatanmu."

Vanko pun berlalu begitu saja setelah mengatakannya. Tidak memikirkan bagaimana nasib jantung Sachi yang kini terpompa begitu cepat. Bahkan, Sachi merasa seakan napasnya berakhir didetik itu juga dan kedua pipinya yang terasa memerah seperti tomat.

Secara spontan, Sachi memegangi kedua pipinya. Padahal, perlakuan ini hanya terbilang biasa saja, tetapi ia melebih-lebihkan. 

"Ah, kenapa aku seperti gadis tidak waras? Biasanya, aku tidak seperti ini!" Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan memejamkan mata juga tersenyum sangat bahagia.

Beberapa murid yang berlalu lalang, tentu tidak mengerti akan sikap ajaib Sachi. Namun, pada dasarnya, mereka hanya akan membuang waktu jika menilik lebih dalam lagi. Alhasil, mereka membiarkan Sachi yang mungkin akan kehilangan kewarasannya, daripada kewarasan mereka yang akan hilang.

"Ah, hanya dengan ini, aku serasa baru saja memenangkan lotre," katanya sembari menatap kotak susu itu dengan senyum puas.

Sepertinya, hari ini akan menjadi hari termanisnya, karena perlakuan sederhana dari seorang Vanko Dickson.

Tbc.

Maafin baru update :(

Twinkle-UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang