Hujan malam mulai mereda. Tak ada lagi sinar rembulan. Awan pun masih tertutup kabut. Hening, sunyi, sepi terulang kembali. Tidak ada tanya ataupun jawaban. Tanpa ada seruan maupun sahutan. Hanya suara hati yang tak berhenti berbisik di telinga.
Setelah berlama-lama menghabiskan waktu di kamar, Farhan keluar membukakan pintu. Ia berjalan dan berhenti sejenak ketika berada di depan pintu kamar Kirana yang masih tertutup rapat. Hanya menunduk, menghela napas kemudian kembali berjalan menuruni anak tangga.
Sambil memegangi perutnya, Farhan membuka lemari yang awalnya berniat untuk makan malam. Tidak ada satu piring pun makanan yang tersimpan di sana. Biasanya, setiap malam hari selalu disiapkan. Ternyata mungkin benar Kirana belum keluar kamar sejak bertengkar dengannya. Farhan duduk menunggu berharap Kirana keluar dan menghampirinya.
Setelah dirasa lama menunggu, Farhan menaiki anak tangga kembali. Ia mendekatkan telinganya ke hadapan pintu kamar. Senyap, tak ada suara sedikitpun dari kamar Kirana. Farhan mengangkat tangan untuk mencoba mengetuk pintunya, namun ia ragu dan mengurungkan niatnya kembali.
"Mungkin Kirana masih marah, gue harus kasih dia waktu." gumamnya.
Kirana menyibak kain gorden jendela kamarnya. Melihat Farhan setengah berlari membuka gerbang, kemudian berlalu melajukan sepeda motor miliknya. Apa karena permasalahan ini Farhan pergi? Kirana tidak tahu.
Setelah sekian lamanya Kirana melangkah jauh untuk mendekati Farhan, baru hari ini ia merasakan rasa kekecewaannya. Berbagai cara yang Kirana tempuh untuk Farhan hanya sia-sia. Nihil, tidak ada hasilnya.
Dengan mata sayu serta sembab akibat tangisan, ia kembali melihat satu lembar buku yang dipenuhi tulisan tangannya sendiri. Dia masih ingat di mana kata, kalimat ketika ia mulai menitikkan air matanya. Kirana bersandar pada sandaran tempat tidurnya. Ia menutup buku itu, lalu disimpan di meja sampingnya. Matanya berusaha ia pejamkan, namun pertengkaran mereka masih terpikirkan dan terdengar jelas ditelinga.
••••
Tangan kanannya dengan lihai meraih setiap makanan yang dirinya inginkan, kemudian dimasukkan pada keranjang yang sedang dijinjing di tangan kirinya. Terkadang bingung memilih apa yang akan terlebih dahulu dibelinya. Setelah dirasa cukup untuk persedian cemilan di rumahnya, orang yang sedang Farhan kagumi dikampusnya ini, berjalan menuju kasir untuk membayarnya.
Syafira keluar, masih diam berdiri di depan minimarket. Ia menelepon Farel, sepupunya itu meminta untuk dijemput sesuai dengan perkataan sebelumnya di rumah. Sudah berkali-kali menghubungi, Farel tidak sekalipun menjawab teleponnya.
"Farel kenapa gak jawab, sih!" kesalnya.
Syafira celingak-celinguk, ia gelisah. Semakin lama semakin takut karena dia benar-benar sendirian tidak ada yang dikenal satu pun di malam hari ini. Seketika cahaya lampu motor mengenai wajah Syafira dari arah kanan. Matanya terpejam sekejap dan kembali membukanya melihat motor yang tidak lagi asing dilihatnya. Merah, Syafira sering melihatnya.
Motor itu berhenti tepat dihadapannya. Syafira sedikit mundur, dan menerka-nerka siapa dia? Orang itu membuka helm, sedikit merapikan rambut, lalu melirik kepadanya sambil menebarkan senyumannya.
Syafira bernapas lega. "Aku kira siapa, ternyata kamu."
"Hai!" sapanya.
"Hai, Farhan!"
"Gak sengaja ketemu, kita."
"Iya, habis dari mana?" tanya Syafira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa Yang Sama
Teen FictionTerdesaknya oleh keaadaan ekonomi keluarga, membuat Kirana harus terjun pada dunia pernikahan yang seharusnya tak terjadi pada usianya kini. Akibat peristiwa mengenaskan yang dulu terjadi, Farhan telah kehilangan seseorang untuk selamanya. Sifatnya...