neunzehn

1.7K 210 24
                                    

"Terkadang, cara menyampaikan amarah tak melulu menggunakan kalimat-kalimat bernada tinggi. Kau tak anggap aku ada, itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku merasa tersakiti."

"Atas nama ibu saya dan diri saya sendiri, sekali lagi saya mohon maaf, Om, Tante, atas ketidaknyamanannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Atas nama ibu saya dan diri saya sendiri, sekali lagi saya mohon maaf, Om, Tante, atas ketidaknyamanannya. Lain kali, ketika Om dan Tante datang ke sini, saya janji saya nggak akan bawa ibu saya ke hadapan Om dan Tante lagi. Saya janji kejadian seperti ini nggak akan terulang kembali."

Chen terus saja membungkukkan badan, bahkan meski Viona telah berkata jangan. Pemuda itu sungguh merasa bersalah atas apa yang Yanli lakukan—meski itu bukan sepenuhnya kesalahan Yanli mengingat wanita itu memang mempunyai gangguan kejiwaan. Tapi tetap saja, berteriak di hadapan orang lain bukanlah sesuatu yang patut dibenarkan. Maka Chen mewakili Yanli untuk meminta maaf pada Viona dan Jibran. Ia tidak ingin nama sang mama buruk di mata keluarga mereka, terlebih ia dan Kana baru saja berteman.

"Nggak usah sampai segitunya, Chen, Tante dan Om Jibran nggak marah kok. Mungkin Mama kamu lagi capek, makanya emosinya lepas. Tante juga sering gitu kok, kalau lagi capek suka ngambek."

Viona mendongak, mengacak pelan surai milik pemuda itu hingga helainya menjadi berantakan. Tapi sialnya Chen dan Naga itu sama-sama tiang. Viona benar-benar terlihat mini dan itu sangat menjengkelkan. Ia tersenyum masam, tapi satu detik kemudian senyum itu kembali cerah seperti awal.

Viona menoleh ke belakang, memberi isyarat pada Jibran untuk tak menjadi patung hidup yang hanya berdiri dan menyaksikan. Jibran yang paham pun langsung berdeham seraya maju perlahan. Chen langsung saja menjulurkan tangan, mengajak pria itu bersalaman. Ia menyambut tatap tegas Jibran dengan senyum lebar.

"Saya Chen, Om, teman Naga dan Kana di sekolah," ujar Chen ketika uluran tangannya dibalas jabatan erat oleh Jibran, sebelum akhirnya mengurai ketika telah lewat tiga detik mereka bersalaman.

"Kamu Chen...yang ngajak Kana dan Naga jalan-jalan ke Dufan?"

Chen mengangguk. "Benar, Om, itu saya."

"Sudah kenal lama dengan anak saya?"

Chen tersenyum canggung, irisnya menatap Kana—meminta pertolongan dari anak itu. Tapi Kana justru mengangkat kedua pundak, sama sekali tak membantu. Jujur saja Chen merasa sedikit tidak enak, mengingat pertemuan pertamanya dengan Kana dan Naga melibatkan sebuah tendangan bola yang membuat wajah Kana menjadi terluka. Meski Kana sudah berkali-kali bilang tidak apa-apa, tetap saja berhadapan langsung dengan orang tua dari sosok yang pernah ia buat terluka itu menimbulkan sepercik rasa bersalah di dalam dada.

"Belum lama, Om, baru beberapa minggu. Tapi kami cukup dekat." Iris Chen kembali berlabuh ke arah Kana. "Iya kan, Ka?"

Untungnya Kana kali ini peka. Pemuda itu mengangguk cepat ketika Jibran ikut menoleh ke arahnya. "Iya, Pa," balasnya. Ia menyenggol lengan Naga di sebelah, memberi isyarat pada sang kembaran untuk ikut bicara. Tapi Naga hanya mendengus seraya memutar bola mata. Kana merenggut, Naga memang tak pernah bisa diajak bekerja sama!

Evanescent [HIATUS SEMENTARA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang