zweiundzwanzig

2.1K 282 98
                                    

"Bunga tumbuh sebagai cerminan dari penanamnya. Buah hati tumbuh sebagai cerminan dari Papa Mama."

Kana pernah bertanya pada semesta tentang sejatinya penciptaan manusia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kana pernah bertanya pada semesta tentang sejatinya penciptaan manusia. Mengapa harus ada bayangan dan cahaya. Mengapa harus ada yang menderita di saat orang lain bisa tertawa dengan bahagia. Mengapa harus ada pencuri jika orang lain bisa berbagi. Mengapa harus ada gelap jika mentari saja tak pernah tidur menyinari bumi.

Sejujurnya ia tak pernah paham, sampai sekarang pun ia masih belum paham. Tapi setidaknya kini ia tahu beberapa hal; bahwa tak ada yang sempurna dalam setiap penciptaan. Bahwa Tuhan memang menciptakan kekurangan untuk dihadapi dengan hati lapang. Bahwa ujian tak akan datang tanpa hati berselimut kecemburuan. Bahwa manusia memang ladang kesalahan paling subur, tapi bukan berarti tak ada jalan untuk menebus segala dosa yang pernah dilakukan.

Kini Kana mempertanyakan hadirnya. Apakah ia berada dalam pelukan gelap...atau cahaya? Apakah senyumnya mampu menuntun orang lain untuk menemukan sekelebat tawa?

Dulu Kana selalu memaki para preman jalanan, atau pencopet yang merampas dompet mamanya kala ia berusia delapan. Baginya, orang-orang keji seperti itu tak pantas untuk dimaafkan. Tapi kini ia sadar, berbuat jahat pun pasti punya alasan. Alasan yang terletak jauh di dasar hati, yang tak akan pernah bisa dipahami oleh siapa pun selain diri sendiri.

Dan semua itu berawal dari kedengkian yang terkubur. Dari bibir pencaci yang tak pernah kenal kata bersyukur. Penyakit hati merupakan salah satu alasan mengapa manusia sering kufur. Memaki pemberian Tuhan yang tiada habis. Menghalalkan segala cara untuk menjadi kaya hanya karena tak ingin mengemis. Tak boleh mengemis, ya sudah, mengamen saja. Tak ingin mengamen, jadi tukang parkir pun bisa. Intinya harus berusaha. Tak ada manusia berhati malaikat yang akan memberi setumpuk uang berwarna merah secara cuma-cuma. Semua butuh keringat dan air mata.

Maka ketika Kana dilahirkan di sebuah keluarga yang sempurna dengan tahta dan gelimang harta, tak ada kata yang bisa ia ucap selain beribu syukur atas segala hal yang ia terima. Meski kendali atas dirinya sendiri tak sempurna, meski banyak pantangan yang siap membahayakan nyawa, Kana bahagia. Meski kembarannya tumbuh menjadi sosok sempurna di saat ia tak bisa menjadi apa-apa, Kana tak pernah mencaci takdir yang harus ia jalani. Meski Papa sering memaki, mendaratkan tamparan di pipi, Kana tetap mensyukuri segala yang ia miliki.

Satu yang ia benci. Mengapa ia tak bisa menjadi sosok yang melindungi. Mengapa Naga harus menjadi tameng di saat ia disakiti. Kana tak pernah suka menyusahkan orang lain, termasuk kembarannya sendiri. Kana juga ingin berguna meski tak seberapa, sesekali menantang tatap tajam Jibran ketika mereka tengah berkelakar kata.

Tapi nyatanya ia masih terlalu pengecut untuk ada di tahap itu. Bahkan kini, ketika Jibran bergeming dengan amarah membuncah di kursi kemudi, yang bisa ia lakukan hanya menunduk kaku. Menautkan kesepuluh jari dengan keringat mengalir deras. Air conditioner seolah tak bisa mengusir panas. Karena api membara itu ada di dalam atma. Membakar tiga sosok yang mendudukkan diri di dalam mobil tanpa satu pun yang berniat lebih dulu membuka suara.

Evanescent [HIATUS SEMENTARA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang