sieben

2.6K 259 32
                                    

"Yume naraba dore hodou yokatta deshou?"

—Kenshi Yonezu

"Loh, Mas Naga udah pulang? Bukannya biasanya Mas Naga rapat—ya Tuhan, Mas Kana kenapa?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Loh, Mas Naga udah pulang? Bukannya biasanya Mas Naga rapat—ya Tuhan, Mas Kana kenapa?"

Seorang wanita dengan pakaian khas pekerja rumah tangga menyambut langkah gontai Naga dengan hangat dan senyum yang mengembang. Namun ramah di wajah itu tidak bertahan lama dan berangsur hilang, kala melihat Kana yang tertidur di punggung Naga dengan wajah damai dan tenang.

Wanita itu menghampiri Naga dengan tergesa. Dia menjatuhkan atensi pada wajah Kana dan seketika kelerengnya membola. "Pucet banget! Ini Mas Kana kenapa?"

"Kecapekan, Bi," balasnya singkat.

"Bibi buatin bubur mau?"

Naga mengangguk pelan. Dia menerbitkan sebuah senyuman. "Boleh. Nanti Bibi antar ke kamar Kana aja."

"Siap. Ditunggu ya Mas," ujar wanita itu, kemudian melangkah menuju dapur.

Naga kembali berjalan dengan hati-hati. Dia sudah berjuang setengah mati hari ini. Rasanya lelah sekali. Kalian harus tahu, mengembalikan oksigen milik Kana tidaklah semudah itu. Terlebih hari ini ada yang berbeda. Biasanya sesak anak itu akan segera mereda setelah dia meminum obatnya. Tapi tadi, bahkan ketika dia—dibantu petugas di ruang kesehatan—sudah memasangkan nasal kanula, Kana tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia mendapatkan kembali oksigennya. Butuh beberapa saat hingga dada anak itu bisa kembali naik turun, itupun disertai ringisan di tiap tarikannya.

Kana tidak selemah itu. Naga tahu. Sesakit apapun, Kana tidak akan menangis jika memang dia rasa tidak perlu. Tapi tidak dengan hari ini. Anak itu meracau dengan parah sampai menangis seperti tadi. Sepertinya memang ada yang terjadi pada anak itu hingga dia bisa drop separah ini.

Sebenarnya Naga sudah punya sebuah dugaan kuat tentang apa yang menyebabkan Kana tertekan hingga kambuh dan pingsan. Semua pasti ada hubungannya dengan Jibran. Sialan! Apapun tentang Kana jika berhubungan dengan papanya pasti tidak akan membawa kebaikan.

Naga membuka pintu kamar Kana dengan perlahan, kemudian meraba dinding untuk mencari sakelar. Kamar itu seketika menjadi terang tepat setelah sakelar itu dia tekan. Cowok itu membawa kaki jenjangnya menapaki kamar sang adik. Dia membaringkan Kana dengan lembut, kemudian menutupi tubuhnya dengan selimut.

Naga duduk di pinggir ranjang. Dia menyibak poni Kana, meyeka keringat yang ada di dahi anak itu. "Kalau besok gue jadi bulan-bulanan satu sekolahan karena lari-lari dari lantai lima sampai lantai satu sambil bawa orang pingsan, gue salahin lo ya, sialan."

Deru nafas teratur itu membuat Naga sedikit lebih tenang. Setidaknya dia tahu Kana sudah bisa bernafas dengan lancar. "Tenang, Ka. Tanpa lo cerita pun, gue udah tau siapa yang bikin lo kayak gini. Karena memang cuma satu orang yang mampu lakuin hal itu." Naga mengeratkan sebuah kepalan tangan. Deru nafasnya memburu bersamaan dengan tatapan matanya yang berubah menjadi tajam. Ada api yang siap terbakar kapan saja di sana dan Naga sama sekali tidak berusaha untuk mengendalikan.

Evanescent [HIATUS SEMENTARA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang