Part 23 || Janji

488 50 2
                                    

"Janji. Satu kata yang membuatku rapuh dan sakit. Kata yang memenangkan, namun, memberi efek sakit di akhir."

~Happy Reading~



Adiba berjalan kaku di belakang Aiden. Tangan gadis itu meremas pinggiran jaket yang Aiden kenakan.
“Gak udah gugup gitu. Calon mertua baik, kok,” candanya saat melihat ekspresi lucu gadis itu.

Dengan kesal Adiba mencibir, “Bukannya calon kamu itu Ara? Kamu ‘kan cinta setengah mati sama dia.” Aiden memandang tidak suka pada Adiba setelah mendengar ucapan yang dilontarkan Adiba.

“Jangan bahas orang lain di cerita kita. Aku ‘kan juga manusia, berarti pernah ngelakuin kesalahan atau kesilapan. Jadi aku gak sepenuhnya salah, dong,” kilahnya membela diri.

“Awas kalau bohong. Diba bakalan langsung meninggal,” candanya membuat Aiden melototkan matanya. Laki-laki itu mengangkat tangannya untuk memberi jitakan di kepala gadis itu. Namun, sebelum itu, sebuah tangan memelintir tangannya. Membuat pergerakannya terhenti.

“Enak banget, ya. Main jitak kepala anak gadis orang. Punya nyawa berapa kamu?” tanya Ibu Nehemia pada putra tunggalnya.

“Dia yang nakal, Bu,” dalihnya membuat Adiba memasang senyum ‘tak enaknya.

“Bodoamat Ibu, mah. Sekarang, yang paling penting Adiba sudah ada di sini. Ibu rindu banget sama kamu.” Rangkulan itu berpindah pada bahu Adiba. Wanita paru baya itu mengoceh terus sambil menghiraukan Aiden dengan wajah bodohnya.

“Anaknya siapa, yang ditinggalin siapa. Dasar Ibu, tapi aku senang bisa lihat Ibu bahagia seperti ini. Apa pun akan aku lakuin untuk kebahagiaan Ibu,” lirihnya lalu memasuki rumahnya.

“Aiden ke atas dulu,” pamitnya pada kedua perempuan yang sibuk bercengkrama itu.
Saat mendapat respon anggukan serta senyuman, Aiden segera beranjak menuju kamarnya yang ada di lantai atas.

“Diba mau minum apa, Nak?” tanya wanita itu pada Adiba. Nada ucapannya sangat sarat dengan kebahagiaan. Melihat itu Aiden hanya tersenyum simpul.

“Gak usah repot, Bu. Nanti Diba buat sendiri. Ibu duduk aja,” balas Adiba dengan lembut sambil merangkul bahu wanita itu untuk kembali duduk.

Nehemia tersenyum senang melihat gadis itu. Sejak pertama kali bertemu wanita itu sudah sangat menyayangi Adiba, dan kini, pertemuan berikutnya membuat wanita itu jatuh cinta pada sikap dan tutur kata gadis ini.

“Ibu senang sama kamu. Ibu senang kamu juga jengukin Ibu. Gak salah ‘kan kalau Ibu anggap kamu anak sendiri?” tanya wanita itu seraya menatap penuh harap pada Adiba yang kelihatannya bingung menjawab apa.

Namun, saat melihat tatapan itu, Adiba dengan senang hati mengangguk.

“Gak bisa gitu dong, Bu,” protes Aiden menatap Ibunya.
Laki-laki itu baru saja turun dari kamarnya dengan baju yang sudah berganti. Nehemia menatap sinis pada putranya yang kali ini tampak tidak menyetujui ucapannya.

“Kenapa gak bisa? Kan yang ngatur Ibu bukan kamu!”

Dengan senyum jahil lelaki itu berujar, “Nanti kalau Diba jadi saudaranya Aiden. Terus Aiden gak bisa nikahin Diba dong.”

Nehemia yang mendengarnya pun menatap Aiden dengan mata berbinar. Namun, sedetik kemudian senyumnya pudar.

“Ara,” lirihnya membuat Aiden menatap prihatin pada Ibunya. Ada satu hal yang membuatnya ‘tak bisa meninggalkan Ara. Gadis itu sangat membutuhkannya dan Aiden memiliki tanggungjawab penuh pada Ara.

Adiba phobia [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang