Tiga

69.3K 10.5K 535
                                    

Jalanan Jakarta tidak pernah sepi. Motor-motor mengebut dengan suara knalpot bodong yang memekakkan telinga. Angkot-angkot saling beradu klakson, ogah disuruh jalan cepat-cepat sebelum dapat penumpang. Mobil-mobil juga berebut duluan, padahal macet dan lampu merah terang-terangan terpampang di depan mata. Jakarta tidak pernah sepi. Namun, baru kali ini aku merasa sangat sunyi.

Tak butuh waktu lama untuk berjalan kembali ke Stasiun Sudirman. Namun, aku merasa langkahku sangat payah, sehingga tak kunjung sampai. Hatiku terasa hampa, sebuah keajaiban besar akhirnya aku tiba di stasiun yang sudah mulai ramai.

Hal pertama yang kulakukan setelah tiba di stasiun adalah duduk mengampar, bersandar di salah satu tiang, dan mengeluarkan pouch berisi cat kuku aneka warna. Jantungku berdebar-debar seperti habis minum lima cangkir kopi sekaligus. Dadaku terasa sesak. Pikiranku buntu. Dan sekitarku masih saja terkesan bisu.

Kuhela napas panjang dua kali, berusaha mengurangi rasa sakit aneh di sekujur tubuhku. Lalu aku mulai mengecat kuku. Orang-orang, termasuk Lukas, sering mengataiku sinting karena mencari ketenangan lewat mengecat kuku. Tapi aku sendiri tidak tahu sebabnya. Memoles warna demi warna di kukuku, membuat hatiku tenang dan nyaman.

"Terlalu baik ..." gumamku, sembari memoles warna hitam di kuku ibu jariku. "Sampah!"

Tapi tidak bisakah dia menunggu sebentar saja? Kenapa dia harus memilih hari ini untuk mengakhiri hubungan kami? Tidak bisakah besok atau lusa? Apakah sudah sebegitunya dia tidak menginginkanku lagi?

Apa yang kukatakan pada Lukas tadi mungkin akan membuat Luna dan Hera bangga. Aku kuat, dan aku bisa men-skakmat cowok berengsek yang memutuskanku dengan alasan aku terlalu baik. Namun, apakah aku sekuat itu? Jelas tidak. Ketika aku berjalan meninggalkan Lukas di kafe itu, tulang-tulangku terasa linu. Empat tahun yang sudah berlalu seperti memberati langkahku. Hatiku terasa sakit. Sekujur tubuhku terasa perih. Entah di bagian mana tepatnya rasa sakit itu berasal. Lukas adalah satu-satunya harapanku, dan kini harapan itu pergi dengan sangat menyakitkan.

Bisa-bisanya Lukas meninggalkanku setelah semua yang kami lewati bersama. Empat tahun bukan waktu yang singkat. Masalah apa yang membuatnya sampai tak lagi bisa bertahan di sisiku? Lalu bagaimana dengan janji-janjinya dulu? Dia bilang akan menemui orangtuaku. Dia bilang, dia sudah menabung dan menyiapkan rumah untuk kami tinggali setelah menikah nanti. Ke mana perginya janji-janji itu? Ataukah ... sebenarnya aku yang berhalusinasi saja?

Lima kuku jariku yang sudah menghitam. Pekat. Seperti pandangan mataku saat ini.

Nope. Aku tidak akan menangis. Aku tidak rela menumpahkan air mataku yang berharga untuk pria berengsek sepertinya. Dia meninggalkanku, itu artinya dia tidak layak untukku. Membuang-buang energi bila aku menangisi kepergiannya.

Kuambil kuteks warna kuning. Kupoleskan di atas kuku jariku yang sudah menghitam.

Lantas tak lama kemudian, ponselku berbunyi. Sebuah chat masuk dari Levana, adikku yang sedang kuliah di Semarang.

Mbak, jgn lupa lusa batas bayar semesteran. Sama biaya skripsi. Rinciannya udh aku krimin k emailmu.

Setelah kuning, kuambil kuteks warna putih. Satu persatu kuku jariku berubah warna. Bagus. Masalah keempat dalam hidupku sudah tiba. Dan aku menerimanya sambil duduk manis di lantai stasiun seperti sedang menyambut kawan lama.

Kutatap kuku di tanganku. Warnanya sudah centang-perenang tak jelas. Aku bahkan tidak lagi menggunakan aseton untuk menghapusnya. Aku hanya menumpuk kuteks demi kuteks untuk menenangkan diriku sendiri. Sayangnya, warna-warna tak lagi memberikan ketenangan yang kuharapkan.

Kutengadahkan wajahku, hingga belakang kepalaku terantuk dinding tiang. Di di depanku, gemuruh suara KRL yang datang membuat telingaku pengang. Dalam pejam mataku, terlihat deretan angka saldo di rekeningku yang tersisa. Angka-angka yang membuat perutku mual. Dari mana aku bisa mendapatkan uang untuk membayar uang kuliah Levana bila aku bahkan akan kehilangan tempat tinggalku besok? Bagaimana caraku mengatakan kepada Ibu bahwa aku tidak bisa membayar cicilan mobil bulan ini karena aku bahkan tak tahu bagaimana bisa makan sebulan ke depan?

DIHAPUS - Tentang Kita yang Tak Mengerti Makna Sia-SiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang