Empat

67.1K 11K 724
                                    

Aku terduduk kaku di kursi tunggu lobi stasiun. Di pangkuanku ada botol air mineral yang tinggal setengah. Tak hanya itu. Ada juga minyak kayu putih, dan roti basah yang biasa dijual di minimarket. Pihak stasiun juga memberiku es batu untuk mengompres lenganku yang memar. Sementara di sampingku, pria yang tadi menyelamatkan nyawaku tengah mengobati lukanya sendiri.

"Itu ... nggak apa-apa?" tanyaku. Bodoh. Sudah jelas lukanya berdarah, kenapa masih bertanya?

Pria itu menoleh dan tesenyum. "Nggak apa-apa. Ini kayaknya kena sesuatu di tas kamu tadi pas saya tarik buru-buru."

"Maaf, Mas."

"Nggak apa-apa, Mbak. Ini juga udah mau kering lukanya."

"Terima kasih," kataku lagi.

"Sama-sama."

Tadi aku membuat kehebohan kedua di peron dengan menangis histeris setelah pria ini bertanya apakah aku baik-baik saja. Mengabaikan tatapan heran ibu-ibu, pria itu menjelaskan kepada petugas yang datang mengecek. Setelahnya, dia membawaku naik ke lobi stasiun agar tidak menarik perhatian lebih banyak orang lagi. Sebenarnya dia bisa saja meninggalkanku dengan petugas, tapi entah kenapa pria itu masih ada di sini. Menemaniku sampai lelah menangis.

"Mbak mau pulang ke mana?" tanya pria itu, menoleh sedikit.

"Cawang," jawabku.

"Oh, dekat. Nanti saya minta tolong petugas untuk nganterin mbaknya. Soalnya saya ke Bekasi."

Aku menggeleng. "Nggak usah, Mas. Saya bisa sendiri."

Pria itu menatapku dengan sedikit ragu. Namun, aku tetap dengan niatku. Akhirnya dia pun mengangguk.

"Okelah. Saya tinggal nggak apa-apa, ya?" pamitnya.

Aku mengangguk. "Sekali lagi terima kasih dan maaf, ya, Mas."

Pria itu lagi-lagi hanya berkata "Nggak masalah, Mbak." Namun, baru tiga langkah berjalan, pria itu kembali lagi.

"Mbak," panggilnya.

Aku mendongak.

"Apa pun yang sedang kamu hadapi, hold on. Solusinya udah ada kok, tinggal ditemukan. Coba pikir dengan kepala dingin aja. Tarik napas dalam-dalam, dan kalau terlalu lelah, duduk dulu aja nggak apa-apa. Percaya sama saya. Ini bukan waktu yang tepat untuk menyerah. Saya yakin kamu bakal tetap bisa berdiri tegak, meski hidup bikin kamu berdarah-darah. Oke?"

Tanpa sadar, aku mengangguk. Pria itu tersenyum, lalu melambaikan tangan dan menghilang di balik eskalator menuju ke peron.

Kata-katanya membuatku air mataku kembali merebak. Astaga, Renjana. Bagaimana bisa aku sempat berpikir untuk mengakhiri hidupku sendiri??

***

Sepeninggal pria itu, aku memutuskan untuk menjauh dari stasiun. Aku takut pikiran sinting itu muncul lagi dan kali ini tidak ada yang menyelamatkanku. Aku baru tahu bahwa pikiran manusia bisa sangat mengerikan dan berbahaya.

Aku berkeliling sekitar stasiun, menyambangi mal terdekat dan berakhir di sebuah kafe kecil yang berada di lantai paling bawah. Hanya ada dua meja untuk pelanggan, dan hanya satu yang terisi olehku. Kupesan cokelat hangat, berharap minuman penenang itu bisa membantuku berpikir. Pria berkemeja cokelat tadi benar. Solusi sudah ada, tinggal ditemukan. Aku harus berpikir jernih, dan mencari solusi satu persatu.

Dengan sebuah kertas bon minimarket yang kutemukan di dalam dompet, serta bolpoin pinjaman dari pegawai kafe, aku membuat list uang yang kubutuhkan. Uang kontrakan, cicilan mobil ibu, tagihan kartu kredit, uang sekolah Levana, uang makan dan keperluan sehari-hari. Kepalaku pening melihat total jumlah yang sangat besar itu.

DIHAPUS - Tentang Kita yang Tak Mengerti Makna Sia-SiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang