Dua Puluh

61.5K 10.1K 5.4K
                                    

Kata-kata Rani masih membayangi pikiranku hingga aku tiba di apartemen. Kuempaskan tubuhku di sofa ruang tengah. Kulepas sepatuku dan kugeletakkan begitu saja di lantai. Kalau Jagad lihat, pasti dia akan mengomel. Tapi kan dia belum pulang. Kemungkinan dia baru akan pulang tengah malam nanti.

Aku berbaring di sofa, meluruskan tulang punggungku yang seharian tersiksa di depan komputer. Aku nyaris memejamkan mata, ketika teringat satu hal. Buru-buru aku membuka akun Instagram Restu. Kurasa aku tahu pacar Restu yang dimaksud Rani waktu itu. Pasti cewek yang fotonya kutemukan di feed Restu waktu itu.

Foto itu masih ada di sana. Dengan caption yang sama, jumlah love dan comment yang sama. Kuamati dengan benar, dan hanya satu hal yang bisa kusimpulkan. Dia cantik. Kurasa selera Jagad memang bisa dipercaya. Dan kini kurasa aku bisa mengerti mengapa unggahan itu terkesan jauh dari gula ataupun rayu-rayu anak muda. Kalau Rani tidak berbohong, mereka sudah pacaran sebelas tahun bukan? Rasanya sudah bukan waktunya untuk melempar rayuan ataupun caption penuh dengan kata cinta.

Tapi bila Restu sudah punya pacar, pacar jangka panjang bahkan, mengapa sikapnya sebaik itu padaku? Menggenggam tangan di kereta, memberikan kalimat menghangatkan semacam "kalau ada apa-apa, bilang aja sama gue", mengajak nonton Europe Screen berdua, menyusul ke coffee shop, itu bukan sikap normal untuk yang sekadar rekan kerja bukan? Atau itu normal dan aku saja yang kebaperan? Apakah memang Restu tipe pria yang baik pada semua orang? Katakanlah itu normal, apakah pacarnya tidak marah jika tahu Restu nonton Europe Screen berduaan dengan cewek lain?

Pertanyaan di benakku masih sangat banyak. Namun, perhatianku terpecah saat sebuah chat masuk dari orang yang sedang berenang-renang di pikiranku itu. Dia mengirim sebuah gambar, poster acara Coffee Festival di PIK Avenue yang pernah kami bahas waktu itu.

Restu Prabu:
Yg kemaren gw bilang.
Weekend ini acaranya.
Mau dateng bareng?

Apakah ajakan menghabiskan akhir pekan berdua seperti ini, normal untuk orang yang sudah punya pacar? Yang pacarannya sudah sebelas tahun?

Tunggu-tunggu. Kenapa terlalu cepat mengambil kesimpulan, Nana? Dari mana aku tahu bahwa kami hanya pergi berdua? Siapa tahu Restu akan pergi dengan pacarnya. Lalu dia ingat aku pernah curhat bahwa aku tidak punya teman. Lalu, karena kasihan, Restu menawariku pergi bersamanya dan pacarnya. Masuk akal, kan?

Tapi daripada menduga-duga, lebih baik aku bertanya langsung.

Renjana Adya Citta:
Boleh aja sih
Sama siapa aja, Mas?
Lo ngajak orang lain?

Rasanya jantungku tidak kuat menunggu jawaban dari Restu. Untuk mengurangi ketegangan, kuputuskan untuk mandi dan bebersih diri. Kutaruh ponselku di atas meja, dan aku beranjak ke kamar. Tiga puluh menit kemudian, aku keluar kamar dengan celana pendek dan kaus oblong serta handuk di atas kepala. Namun, saat aku keluar kamar, sudah ada Jagad di ruang tengah.

"Kok lo udah pulang??" tanyaku kaget, melihat Jagad duduk di sofa.

Sedikit panik, aku menatap sepatu dan tasku yang tadi kutinggalkan dalam kondisi berserakan di lantai, tapi ... tidak ada. Sepatuku sudah berjajar rapi di lemari sepatu yang ada di lorong pintu, tasku ditaruh di atas sofa, dan jaketku sudah disampirkan di lengan sofa.

"Jangan jorok ..." kata Jagad menggantung. Dia tengah melepas kancing kemejanya dan menyalakan televisi. "... meski gue nggak ada."

Aku meringis. "Sori, sori. Baru aja mau gue beresin. Mau kopi? Atau teh? Gue mau masak air."

"Kopi boleh."

Aku mengangguk, dan bergegas ke pantri. Namun, sebelumnya, aku teringat chat-ku pada Restu sebelum mandi tadi. Buru-buru kuambil ponselku yang ada di meja di depan Jagad. Pria itu hanya mengerutkan dahi, dan aku nyengir kecut. Di pantri, aku mengisi teko dengan air dan menaruhnya di atas kompor. Setelah itu, baru aku mengecek ponselku.

DIHAPUS - Tentang Kita yang Tak Mengerti Makna Sia-SiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang