Delapan

65.7K 9.8K 952
                                    

Aku dan Jagad duduk berhadap-hadapan di sofa ruang santainya. Kedua kakiku yang saling bertumpuk nyaris tak bisa diam. Setelah aku menelepon dan mengganggu meeting-nya siang tadi, Jagad berjanji akan pulang lebih cepat untuk membicarakan masalah ini lebih leluasa. Namun, pulang cepat versi Jagad tentu tidak pukul 16.00 seperti pulang cepat versiku. Dia baru tiba di apartemen sekitar pukul 19.30 malam harinya.

"Levana kapan ke Jakarta?" tanya Jagad.

"Lusa."

"Acara apa sih?"

"Conference apa gitu. Dia sama dua orang temannya."

Levana memang cukup aktif sebagai mahasiswa. Dia mengikuti kegiatan ini dan itu, dan sering pergi ke berbagai kota untuk berkegiatan. Selama ini, dia memang sering ke Jakarta dan menginap di mantan kontrakanku. Namun, hal itu jelas mustahil untuk sekarang. Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara menyampaikan informasi bahwa aku di-PHK tanpa pesangon dan diusir dari kontrakan dan sekarang nebeng di tempat orang lain.

"Ya bilang aja lo pindah dari kontrakan ke apartemen ini. Bilang ini apartemen lo," kata Jagad, ketika kusampaikan kebingunganku. "Nanti sementara gue nggak tidur di sini."

"Terus tidur di mana?"

"Gampang."

Oh ya, jelas hal itu gampang bagi Jagad. Kurasa dia juga sering open room di hotel mewah hanya karena bosan di apartemen dan ingin ganti suasana. Atau ... kenapa hotel? Kurasa Jagad bisa menginap di tempat pacarnya.

"Tapi nggak bisa gitu, Gad," keluhku. "Gue nggak mungkin bilang apartemen semewah ini sebagai apartemen gue. Sekali lihat juga orang bisa nebak ini bukan apartemen kelas menengah ke bawah. Ntar gue dikira aneh-aneh kalau orang rumah tahu gue punya apartemen sebagus ini."

"Aneh-aneh maksudnya?"

Aku mengedikkan bahu. "Well ... punya gadun. Jadi simpanan pejabat. Jual diri. Jual ginjal. Apalah yang bisa ngehasilin banyak duit dalam waktu singkat."

Jagad sontak tertawa kecil, "Astaga. Orang bisa punya apartemen kayak gini dengan kerja keras, Na. Nabung. Investasi."

"I know. Tapi gue nggak sekaya dan sesukses itu. Mereka tahu itu."

Jagad mengangguk-angguk tipis, mulai memahami posisiku.

"Ya udah kalau gitu, bilang apa adanya aja. Lo terusir dari kontrakan, karena ... well, karena kontrakan lo mau direnovasi sama yang punya, mungkin? Lalu, lo tinggal di tempat gue sementara, sampai renovasi selesai. Kayaknya apartemen ini cukup besar kalau cuma nambah tiga orang lagi. Di kamar itu ..." Jagad menunjuk kamar ketiga di apartemen ini yang dia fungsikan sebagai perpustakaan dan ruang kerja. "Ada sofa bed. Bisa dipakai."

"Gad, gimana caranya gue bisa bilang kalau tinggal sama lo?" tanyaku putus asa.

"Maksudnya?"

"Di tempat gue, cowok dan cewek tanpa ikatan pernikahan nggak bisa tinggal bareng. Nyokap gue bisa jantungan kayaknya kalau tahu gue tinggal sama laki-laki. Gue yakin gue bakal langsung disuruh balik ke rumah."

Jagad mengerjapkan mata dua kali. Mungkin dia bingung. Mengingat dia pernah tinggal di luar negeri cukup lama, kurasa dia lupa kalau di sini banyak orang yang menganggap apa yang kami lakukan sekarang – maksudnya, aku tinggal dengannya di bawah satu atap – adalah kumpul kebo.

"Hmm ..." Jagad bersedekap, sebelah tangannya memegang dagu. "Jadi, intinya, lo nggak bisa bilang ini apartemen lo sendiri dan lo juga nggak bisa bilang gue sebagai yang punya apartemen."

"Betul," jawabku sedikit nelangsa. "Gue berpikiran buat sewa kos harian sih. Itu berarti gue harus angkutin beberapa barang yang ada di gudang. Soalnya kan nggak mungkin kosan gue kosong. Itu barangnya tinggal gue ambil aja kan? Nggak harus sama lo kan?"

DIHAPUS - Tentang Kita yang Tak Mengerti Makna Sia-SiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang